Assalamualaikum Wr. Wb.

Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat kepada manusia lain

Selasa, 21 September 2010

Rindu Desah

Ke mana kata-kata mesra
Yang kau tebar setiap kala
Bukannya aku memburu kata itu
Hingga kumengejar huruf-hurufnya
Yang empat namun dapat menjerat
Setiap yang tertambat
Hanya dengan nafsu liarku

Bibir berucap
Digerakkan hati yang tersembunyi
Degub menahan cuatan
Meronta di bibir hari

Aku merindukan setiap desah
Menggelitik di gendang dengar
Kedamaian berselimut tentram
Kurasakan di saat gundah menggulana hati

Kata-kata terangkai menusuk hati
Terasa kini
Pedas membakar
Tak ada bumbu penentram
Di liang suara

Sudah punahkah kata-kata itu
Tertelan amarah yang mengelilingi
Setiap desah udara yang terhembus

Hanya pada batang hujan kuberharap
Mampu padamkan panas
Lalu menumbuhkan kata-kata mesra
Meneduhkan setiap hasrat

Telagabiru, April 2010

Kamis, 16 September 2010

Gadis Ayu

Bunga di taman
Mekar semerbak harum
Tangan halus gadis ayu
Memetik setangkai
Diselipkan di rambut terurai

Mata melirik
Tersenyum bibir merah menantang
Diri yang meradang

Oh, gadis ayu
Berpipi lesung
Izinkanlah diri singgah
Di ruang hati
mengurai segala isi

Rabu, 15 September 2010

Serpihan Kenangan

Sepanjang jalan berlubang
Kumenerobos tebal kabut
Mengais serpihan kenangan
Yang telah terpisah
Lima belas tahun lamanya

Harum kembang kapas
Di sepanjang jalan itu
Membangkitkan semangat
Buka lembaran baru
mengabadikan kenangan masa lalu

Dibakar perapian berselimut
Amis ikan bakar
Terurai canda tawa yang terbungkam
Lima belas tahun lamanya

Gerah menggelitik jiwa
Berpayung serumpun bambu
Seirama deritan memanggil hati
Untuk bersatu tanpa batas waktu

Bulangan, 15 September 2010

Jumat, 10 September 2010

Sunyi di Pagi Kemenangan

Pagi kemenangan berpesta
Dengan saling memaafkan
Riuh rendah takbir
Menggema menelusuri
Cahaya matahari yang timbul tenggelam
Di tengah siang

Ada yang tertinggal
Dalam pekik kemenangan
Sunyi hati terpenjara
Keraguan di balik kelam
Kemudian buncah kegalauan
Menindih gerak langkah
Berat susuri jalan keikhlasan

2 Syawal 1431 H.

ZIARAH KUBUR

Cerpen Ahmad Zaini


Sore itu suasana di kampung halaman ramai oleh lalu lalang orang yang pergi ke makam. Mereka membawa karangan bunga untuk berziarah, mendoakan para leluhur dan orang tuanya yang sudah meninggal dunia. Di kampung halamanku memang ada tradisi setiap menjelang bulan puasa masyarakat pergi ke makam untuk mendoakan para arwah anggota keluarganya agar mendapatkan rahmat dan ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Di pinggir jalan aku menunggu paman yang akan berangkat ziarah. Dia pulang sebentar untuk mengambil karangan bunga yang akan ditaburkan di atas makam. Menurut cerita para orang tua bahwa bunga yang masih segar kemudian ditaburkan di atas makam itu akan bisa meringankan siksa si mayit. Makanya setiap paman hendak berziarah tak pernah lupa membawa karangan bunga.
“Ayo berangkat!” ajak paman. Kemudian aku disuruh membawa sekarangan bunga yang beraneka macam dengan menyebarkan aroma yang wangi menusuk hidung. “Nanti karangan bunga yang kamu bawa, taburkan di atas kuburan ayahmu!” kata paman. Aku mengiyakan semua yang dia perintahkan. Aku sendiri masih belum paham betul dengan tradisi ziarah seperti itu. Maklumlah semenjak ayahku meninggal dunia, aku sudah ikut pakde di kota. Sedangkan di kota, apalagi di lingkungan pakde tradisi berziarah sudah mulai sirna. Hanya orang-orang tertentu yang melakukan itu.
Di makam puluhan orang antri masuk ke lokasi makam. Aku melihat sebagian dari mereka melepas sandal. Dalam hatiku bertanya-tanya kenapa mereka melepas sandal? Padahal tanah di pekuburan itu banyak semak belukar dan duri yang membahayakan kakinya. Paman kemudian menggandengku. Rupanya ia bisa membaca pikiranku. Paman mengatakan bahwa itu dilakukan sebagai tata krama orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia. Menurut paman orang yang meninggal dunia itu masih bisa melihat tingkah polah orang yang masih hidup.
Aku melangkah dengan hati-hati takut terkena duri. Setiap batu nisan yang tertulis nama selalu kubaca. Paman serta merta memperingatkan diriku. “Jangan membaca tulisan yang ada di batu nisan, nanti kamu jadi pelupa, lho!” kata paman memperingatkan diriku. Aku sejenak tertegun memikirkan apa hubungannya membaca tulisan di batu nisan dengan lupa. Namun itu tak kutanyakan kepada paman. Aku diam dan mengiyakan semua kata paman.
“Nah, itu kuburan ayahmu,” kata paman sambil menunjuk ke arah gundukan tanah. Aku melihat batu nisan yang bertuliskan “Rahmat bin Ahmad, Wafat Rabu Legi, 17 Agustus 1990”. Namun aku tak berani membaca tulisan itu. Aku hanya melihatnya karena takut aku nanti jadi pelupa.
Sekarangan bunga yang kubawa kemudian kutaburkan di atas makam ayah. Setelah selesai kemudian paman mengajakku mendoakan arwah ayahku dengan membaca doa-doa. Mulai dari surat Al Ikhlas, An naas, Al falaq, hingga ayat kursi. Setelah itu paman memimpin berdoa dan aku hanya mengamini saja.
Menurut paman bahwa orang yang meninggal dunia itu juga butuh makan. Jika manusia yang masih hidup makannya dengan nasi maka orang yang sudah mati makannya dengan doa. Maka orang yang masih hidup terutama keluarga harus selalu mengirimkan doa kepada ahlinya yang sudah meninggal dunia. Aku diam memperhatikan apa yang disampaikan paman dengan sungguh-sungguh.
Aku dan paman masih berdoa dengan khusu’ di depan makam ayah. Aku teringat semasa ayah masih hidup. Ia begitu tegas dalam membimbing anak-anaknya. Termasuk membimbing aku. Pernah pada suatu hari ketika aku bermain kelereng dengan temanku hingga menjelang maghrib, ayah tiba-tiba datang kemudian menjewer telingaku hingga terasa panas. Itu dilakukan karena saya belum shalat ashar. Waktu itu usiaku delapan tahun. Usia yang wajib bagi orang tua untuk mengajari anaknya shalat. Jika hingga sepuluh tahun kemudian anak tidak mau melaksanakan shalat wajib bagi orang tua untuk menakut-nakuti atau memberi sangksi misalnya dupukul. Tapi memukulnya tidak dengan emosi atau dengan pukulan yang membahayakan. Tujuannya hanya agar anaknya jera dan mau menjalankan shalat tidak lebih dari itu. Oleh karena itu, saya sangat bangga dengan ayah karena ketegasannya dalam mendidik anak-anaknya.
Tanpa terasa aku sudah duduk di depan makam ayahku selama setengah jam. Matahari sudah hampir tenggelam. Orang-orang yang berziarah juga sudah mulai pulang. Paman kemudian menepuk pundakku mengajakku berdiri dan pulang ke rumahnya. Angin senja berhembus pelan membelai daun-daun kamboja di pekuburan. Bunga kamboja yang putih berseri luruh di atas makam ayah. “Mudah-mudahan dapat meringankan siksa dan dapat mendoakan ayahku agar dosa yang selama ia lakukan semasa hidupanya diampuni oleh Tuhan,” doaku dalam hati saat melihat makam ayahku dipenuhi bunga-bunga yang kutaburkan dan bunga kamboja yang baru jatuh di atasnya.
Sesampai di rumah, aku kemudian menghela napas dengan bersandar di sebuah kursi. Tiba-tiba bibiku berseru dari dalam kamar memerintahkan agar aku mencuci kaki dulu sebelum masuk rumah. Menurut bibi orang yang baru datang dari kuburan itu harus cuci kaki agar tidak ketiban sial dalam hidupnya. Atau paling tidak kaki kita tidak kotor terkena tanah makam. Karena tanah di makam itu tidak terjamin kesuciannya. Makanya kita juga tidak diperbolehkan melaksanakan shalat di tanah makam. “Iya, Bi,” jawabku kemudian aku menuju ke tempat mandi di depan rumahk. Tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang dari mushalla yang berjarak sekitar lima puluh meter dari rumah paman.
Langit semakin kelam kemudian fajar di ufuk barat menjadi hitam. Orang-orang yang usai melaksanakan shalat maghrib kemudian berkerumun di depan rumahnya untuk mencari udara. Padahal menurut ilmu kesehatan angin malam itu tidak baik bagi kesehatan. Tapi apa boleh buat malam itu udara sangat gerah hingga mereka nekat keluar rumah.
“Paman, besok aku kembali ke kota. Besok lusa sudah mulai masuk kerja. Di samping itu mungkin pakde sudah cemas menungguku. Terima kasih atas bimbingan paman yang telah memperkenalkan dan mengajariku berziarah kubur!” kataku kepada paman. “Ya, sama-sama. Itu sudah kewajibanku membimbing dirimu sebagai wakil dari ayahmu yang telah meninggalkan kita lebih dulu. Semoga di dalam kubur ia selalu mendapatkan kebahagiaan dan pertolongan dari Tuhan. Apalagi anak bungsunya mau berziarah mendoakannya,” tutur paman. “Dan jangan lupa menjelang lebaran kamu harus datang lagi ke kampung untuk berziarah ke makam ayahmu. Doakan arwah ayahmu usai melaksanakan shalat lima waktu. Jadilah anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya yang sudah meninggal,” timpalnya.
Waktu sudah semakin larut. Aku harus segera istirahat untuk menghemat tenaga karena besok pagi aku harus menempuh perjalanan jauh. Aku sudah tak tahan menahan rasa kantuk kemudian aku masuk ke kamar dan dalam sekejap aku terlelap dalam tidur.
Kicau burung dengan udara segar pagi hari sangat enak aku rasakan. Sebantar di halaman rumah paman aku melemaskan otot-otot yang masih kaku. Dari dalam rumah bibi sudah berteriak-teriak memanggilku untuk segera makan pagi. Aku bergegas masuk dan di meja makan sudah siap menu makanan kesukaanku. Aku makan dengan lahap hingga habis lalapnya. Setelah sarapan aku segera mengemasi pakaianku kemudian aku berpamitan kepada bibi dan pamanku.
“Salam kepada pakdemu. Ingatkan jangan lupa kampung halaman,” pesan paman. “Insya Allah akan saya sampaikan. Assalamualaikum!” pamitku seraya melangkah meninggalkan rumah sederhana tapi penuh dengan kedamaian.
Matahari pagi bersinar terang menciptakan bayang-bayang diriku di tengan perjalanan. Kupanggul tas yang berisi pakaian yang kupakai selama di rumah paman. Dalam perjalanan pulang aku berkali-kali berpapasan dengan muda-mudi yang usai jalan-jalan. Mereka menjaga kebugaran tubuhnya untuk menghilangkan rasa kantuk yang menyelimuti dirinya. Padahal banyak di antara mereka masih mendengkur dalam tidur. Maklumlah mereka sudah bangun sejak pukul 3 untuk makan sahur.
Sesampai di tujuan, pakde dan bude sudah menunggu di depan pintu. Mereka mencemaskan diriku yang selama seminggu berpisah dengan mereka. Mereka merangkulku sebagai ungkapan rasa kangen. Aku membiarkan mereka merngkulku karena sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri.
“Pakde mencemaskan dirimu. Alhamdulillah kau saat ini sudah di rumah. Bagaimana kabar pamanmu di kampung?” tanya pakde. “Syukur, baik-baik saja. Mereka sehat semuanya,” jawabku. “Oh, iya, Ada pesan buat pakde. Kata paman, pakde tidak boleh melupakan kampung halaman,” ceritaku. “Ya, jelas tidak lupa. Masak pakde bisa melupakan mereka. Pakde, kan orang baik, ya,kan?” kata pakde melucu yang disambut tawa oleh bude.
Menurut pakde menjelang lebaran kami serumah akan pulang kampung. Di samping untuk berziarah kubur ke makam orang tua juga untuk bersilaturrahim kepada sanak famili dan juga para tetangga yang sudah ditinggalkan sejak puluhan tahun yang lalu. (*)

1 September 2008
Penulis beralamat di Wanar Pucuk Lamongan

Kamis, 09 September 2010

Aku Malu

Padamu
Aku malu
Sebab lukaku

Belatung menari
Menghisap nanah di antara
Kemolekan tubuh berkulit mulus

Kubalut lukaku
Berikat kasa
Namun anyir darah
Menembus balutan tipis
Busuk
Memuntah di muka pengadil

Lamongan, November 2009

Senin, 06 September 2010

Aku Ingin

Kemukus kabarkan lewat mendung di suatu malam
Kata kakek, “Akan ada bencana besar, Cucu,”
Hanya yang jadi pertanyaan bahaya besar apa?
Mungkinkah kepemimpinan di negeri ini yang terus digoyang
Ataukah dasyat bencana alam akan terulang

“Jangan dulu!” kataku
Negeriku masih berbenah
Negeriku masih bersolek
Menata wajahnya yang masih carut marut
Oleh kekeringan
Kelaparan
Banjir bandang
Dan krisis kepemimpnan

Berikan waktu agar proses yang dijalani negeriku
Tuntas
Jangan kau putus di tengah jalan

Kasihan anak kecil berkaleng kecil
Yang setiap hari berteriak meminta belas kasihan
Kasihan para gelandangan yang mencari tempat berlindung dari kejaran satpol PP
Kasihan mereka yang berebut setiap ada pembagian zakat dan sembako

Aku ingin mereka merasakan
Cita yang mereka inginkan tercapai
Anak-anak tersenyum ceria
Bermain jernih air dan bermain gasing
Aku ingin mereka tinggal di apartemen berfasilitas layak
Seperti mereka yang merasakannya kini

Aku ingin
Mereka tersenyum berbalut merah putih berkibar di jagad raya
Dengan kobar semangat yang tak pernah pudar

Aku ingin keretakan dalam negeri ini
Dapat terkait
Dalam persatuan dan kesatuan
Menjaga martabat dan harga diri bangsa

Teruskah kita terbenam dalam Lumpur penderitaan
Sementara luas wilayah kita terbentang
Dari Sabang sampai Merauke

Aku ingin hidup layak
Di atas bumi negeriku sendiri
Karena hujan batu di negeri sendiri
Lebih kupilih daripada
hujan emas di negeri orang

Aku ingin negeri ini memperlakukan rakyat
Sebagai penduduk pribumi
Jangan perlakukan mereka seperti orang asing
Mereka berhak mengecap sebutir nasi
Yang dihasilkan dari bumi ini
Mereka berhak meminum jernih
Air dari tanah yang subur ini

Aku ingin
Hanya ingin

Nenek, Oh, Nenek

Di depan beranda rumah, nenek duduk santai sembari mengelus rambut memutih yang disimpul menjadi sanggul. Sambil memandang suasana sore ia mengecapi sirih yang sudah hampir lembut. Ludah yang bercampur dengan sirih, nenek semprotkan ke tanah. Warna merah seperti darah menodai tanah di sekitar tempat duduknya. “Ayo, Nek masuk ke rumah! Hari sudah senja,” seruku padanya. “Nanti dulu. Saya masih menikmati suasana senja,” jawabnya sambil tiada henti menyirih. Aku membiarkan dia yang sedang asyik menyirih di tengah terpaan angin senja. Usia selanjut dia memang tidak baik berlama-lama duduk di beranda rumah. Daya tahan fisiknya yang menurun akan memudahkan angin malam menggerogoti tubuhnya. Dan biasanya akan masuk angin. Nah, jika sudah masuk angin maka yang muda-muda akan kerepotan. Tapi itulah sifat orang yang sudah tua. Ia akan kembali seperti anak kecil. Cengeng dan keras kepala. ”Nek, besok sudah memasuki bulan puasa. Jika nanti nenek masuk angin, nenek tidak bisa melaksanakan ibadah puasa. Mari masuk!” ajakku. Kali ini permintaanku dia dengarkan. Ia berdiri lantas meninggalkan tempat duduknya sambil berpegangan pada dinding rumah. Tubuhnya yang sudah reot tertatih-tatih merayap masuk ke rumah. Aku bermaksud membantu dengan memapahnya berjalan. Kedua tangan keriputnya menolak uluran tanganku. Ia bersikeras berjalan sendiri masuk ke dalam rumah. ”Eit, aku masih kuat,” katanya. Menjelang bulan puasa, kita mengadakan selamatan. Kita memohon kepada Allah mudah-mudahan kita diberi kesehatan jasmani dan rohani sehingga dapat melaksanakan ibadah puasa dengan sempurna. Nenek malam itu duduk di ranjang tidurnya. Dari dalam kamar ia memanggilku. Segera aku masuk ke dalam kamarnya. ”Aku mau ikut selamatan,” katanya. ”Apa, ikut selamatan? Nenek, yang ikut selamatan itu laki-laki. Perempuan seperti nenek ini cukup berdoa dari dalam kamar saja. Nenek tidur lagi biar besok badannya segar dan bisa berpuasa.” “Eit, tidak mau! Aku akan ikut selamatan!” sanggahnya dengan keras kepala. Hati kecilku tertawa melihat tingkah nenek yang seperti anak kecil. Maka aku biarkan dia berjalan sempoyongan keluar kamar mengikuti selamatan. ”Begini saja, Nek! Selamatan ini keliling dari satu rumah ke rumah yang lain. Nenek ikut selamatan kalau giliran di rumah kita, Nek!” Dia diam tak merespon kata-kataku. Nenek lantas duduk sambil memandangi serangga malam yang menari-nari mengitari lampu di ruang tamu. “Nek, usia seperti nenek ini tidak wajib berpuasa. Maka nenek besok tidak usah puasa, ya!” saranku kepada nenek. “Eit, jangan menganggap saya tidak kuat puasa! Walaupun usiaku sudah tua tetapi saya tidak kalah dengan yang muda-muda,” katanya dengan nada tinggi. “Ya, sudahlah kalau begitu! Akan tetapi, kalau nenek tidak kuat, ya, jangan memaksakan diri!” Para warga yang akan selamatan sudah berada di depan pintu. Kedatangan mereka menghentikan pembicaraanku dengan nenek. Anakku yang mengikuti selamatan langsung menghampiriku sambil menyodorkan jajan pasar ke pangkuanku. Nenek yang asalnya diam tiba-tiba menggerakkan tangannya menyambar jajan yang baru kuterima dari anakku. Anakku tertawa terpingkal-pingkal melihat kelucuan sikap buyutnya. ”Ayo, mari masuk semua!” aku mempersilakan para tetangga. Mereka kemudian masuk dan duduk bersila membentuk lingkaran. Nenek yang semula duduk manis sambil menikmati jajan dari anakku langsung turun. Ia ikut duduk berbaur dengan para tetangga yang sedang melantunkan doa-doa. Perilakunya yang seperti anak kecil membuat para tetangga terusik kekhusukan doanya. Mereka menahan tawa ketika melihat nenek yang menggeleng-nggelengkan kepalanya ketika berdoa. Mereka ingat sikap anak-anaknya di rumah ketika mendengar bacaan tahlil. Usai doa-doa dilantunkan, sebagai tuan rumah saya memberi shadaqah kepada tetangga yang mengikuti acara selamatan. Sebungkus jajan pasar kubagikan satu persatu. Ketika giliran nenek, jajannya sudah habis. Nenek pun memperlihatkan sikap kekanak-kanakannya. Ia merengek meminta jatah jajan kepadaku. Sontak para tetangga yang ada pun tertawa semua. Anak semata wayangku yang kebetulan berada di dekat buyutnya pun tak ketinggalan ikut tertawa terpingkal-pingkal melihat sikap buyutnya. Ia pun mengambilkan sebungkus jajan yang ia dapatkan dari rumah tetangga yang lain. ”Ini, Yut!” kata anakku dengan menyodorkan sebungkus jajan. Nenek langsung berdiri sempoyongan. Melihat buyutnya yang hampir jatuh, anakku meraih tangan kanan nenek hendak membantunya berdiri. ”Eit, jangan memegang tanganku! Aku masih mampu berdiri,” tolak nenek yang disambut tawa oleh tetangga. Dan nenek pun menjauh dari tempat tersebut untuk menikmati jajan yang diberi oleh anakku. Malam semakin larut. Riuh rendah suara orang tadarrus telah sepi. saya dan anakku pun lelap dalam tidur pulas. Menjelang makan sahur aku bangun terlebih dahulu untuk mempersiapkan makan sahur bagi anak dan nenekku. Ketika aku menyalakan saklar lampu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh wanita tua renta yang sudah duduk di meja makan. ”Masya Allah, Nek! Sudah bangun?” tanyaku terkejut. “Iya. Saya kuatir bangun kesiangan dan tidak sempat makan sahur,” jawabnya dengan rada-rada mengantuk. Aku tertawa geli melihat nenek yang keras kepala seperti itu. Ia tidak percaya kepadaku karena kuatir aku tidak membangunkannya untuk makan sahur. Sampai-sampai dia harus bangun lebih dahulu menunggu waktu makan sahur di kursi ruang makan. Lalu aku memasak dan mengahangatkan sayur yang sudah kubuat sewaktu hari masih sore. Tak lupa anak semata wayangku- yang sudah dua tahun tidak bisa menjalankan ibadah puasa bersama ayahnya yang pergi merantau ke negeri jiran- aku bangunkan. ”Buyut sudah dibangunkan?” tanya anakku. ”Lha, itu siapa?” jawabku sambil menunjuk ke arah nenek. Anakku pun tersenyum simpul menahan gelak tawa. Seruan makan sahur yang bersahut-sahutan di penghujung malam membuat suasana makan sahur menjadi mengasyikkan. Belum lagi tetabuhan anak-anak yang berkeliling kampung membangunkan warga untuk makan sahur. Mendengar tetabuhan anak-anak yang melintas di depan rumah, nenek pun langsung berdiri dan memanggut-manggutkan kepalanya mengikuti irama yang ia dengar. Aku dan anakku tertawa terpingkal-pingkal. ”Sudah, Nek, sudah! Ayo berdoa dan makan sahur bersama-sama!” ajakku. Dengan lahap nenek menyantap menu makan sahur pertama di bulan puasa tahun ini. Sayur yang masih mengepulkan asap tak ia hiraukan suhu panasnya. ”Dibiarkan dulu, Nek biar tidak panas!” ”Eit, nenek ini jago makan masakan panas!” Ketika sesendok nasi dan sayur yang masih mengepulkan asap dimasukkan ke dalam mulut, nenek merasa kepanasan. Mulutnya dibuka lebar-lebar sambil mendesis kepanasan. ”Apa kata saya? Makanya yang sabar!” Nenek diam tak berani menunjukkan sikap keras kepalanya. Fajar telah tiba. Makan dan minum sudah diharamkan bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa. Saat siang sudah mencapai puncaknya, aku tidak tega melihat kondisi nenek yang lemah. Aku berusaha membujuknya agar membatalkan puasanya. ”Eit, saya masih kuat!” tolaknya. Akhirnya aku hanya diam memandangi nenek yang terkulai lemas di kursi depan rumah. Menjelang berbuka menu buka puasa sudah kusiapkan di meja makan. Waktu berbuka puasa masih lima belas menit. Kami sudah berkumpul di ruang makan. Tiba-tiba tangan nenek meraih semangkok kolak kacang hijau yang sudah kuhidangkan di meja makan. ”Eit, belum waktunya!” larangku yang ditertawakan oleh anakku. Dia spontan menghentikan niatnya yang akan menyeruput kolak kacang hijau. Nenek pun duduk lagi sambil memandangi menu yang sudah siap makan. Ketika hari sudah petang dan waktu buka puasa telah tiba, kami pun berbuka puasa dengan menu yang telah aku siapkan. Minum-minuman manis kami dahulukan kemudian memakan nasi secukupnya. Usai berbuka kami pun bersiap-siap menunaikan shalat maghrib di mushalla terdekat. ”Lho, buyutmu mana?” tanyaku pada anakku. Saat kucari kesana kemari ternyata dia masih berada di meja makan menghabiskan kolak kacang hijau yang masih tersisa. Kami pun tertawa terpingkal-pingkal melihat sikap nenekku yang lucu. Wanar, 1 Ramadlan 1431 H *penulis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan