Assalamualaikum Wr. Wb.

Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat kepada manusia lain

Minggu, 09 Januari 2011

DAGING SAMPIL

DAGING SAMPIL
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Seekor sapi dijagal di halaman masjid. Puluhan orang bahu-membahu agar sapi yang berbadan gemuk dan liar ini dapat dijinakkan. Ada yang membuat kolongan tambang untuk menjebak kaki sapi. Ada juga yang menarik tambang yang mencocok hidung sapi. Jika salah satu kaki sapi masuk ke dalam kolong tambang maka mereka pun serentak menyeretnya sampai sapi terjatuh dan benar-benar terlentang persis di lubang pemotongan.
Haji Sulaiman menghunus pedang akan memenggal leher sapi. Pedang yang baru saja diasah ia keluarkan dari sarungnya. Tak lama kemudian Haji Sulaiman mendekat ke leher sapi sambil berkomat-kamit membaca doa dan takbir. Sedangkan warga lain yang bergerombol di sekeliling tempat penyembelihan bersama-sama mengumandangkan takbir mengiringi pemotongan sapi. Suara mereka mendayu-dayu berdoa dan memohon kepada Allah agar pengorbanan berupa pemotongan sapi diterimaNya.
Kilatan cahaya pedang Haji Sulaiman sangat mengerikan. Kilaunya menandakan bahwa pedang itu sangat tajam. Sekali gerak leher sapi yang dibeli Haji Sulaiman tiga hari yang lalu benar-benar sobek, putus otot-otot pengapitnya serta tenggorokannya hingga memuncratkan darah segar. Kucuran darah mengalir deras memenuhi kubangan yang dibuat oleh warga.
”Hore...!” teriak anak-anak yang ikut menyaksikan penyembelihan binatang kurban.
”Hai, anak-anak cepat menyingkir! Jangan mengganggu pembolengan sapi ini!” perintah Kusnaji yang saat itu sebagai panitia kurban.
Warga yang ingin membantu pembolengan sapi mulai berdatangan. Di pinggang mereka terselip bilahan pisau yang tajam. Tangan-tangan berotot itu satu per satu memotong bagian-bagian sapi. Ada yang memenggal kepala sapi, kakinya dan lain-lain.
Setelah rampung, mereka membungkus daging sapi. Dan bungkusan-bungkusan tersebut akan dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Haji Sulaiman pemilik dan penyembelih sapi tersebut langsung memotong sampil sapi sebelah kanan. Ia langsung memanggul sampil itu ke pundaknya. Ia langsung pergi sambil membawa sampil ke rumahnya.
Belum sampai Haji Sulaiman sampai di rumah, panitia menyusul lalu menghentikan langkah kaki Haji Sulaiman. Pak Haji kaget dan dalam hatinya bertanya-tanya mengapa panitia kurban ini menghentikan langkahnya.
“Maaf Pak Haji, saya mendapat tugas dari ketua panitia untuk mengambil sampil yang Pak Haji bawa,” kata panitia tersebut.
“Kenapa?” Tanya Haji Sulaiman sambil menatap tajam ke panitia yang berbadan kurus tersebut.
”Begini Pak Haji. Sapi ini adalah binatang kurban Pak Haji. Maka orang yang telah mengorbankan binatangnya itu sudah tidak berhak lagi menerima daging atau yang bagian sapi lainnya,” kata pantia menirukan nasihat dari Kyai Jamal.
”Tidak bisa. Ini sapi saya. Saya yang membeli dan saya juga yang menyembelih. Tidak saya bawa pulang seluruhya sudah sangat beruntung panitia. Terserah saya dan jangan halangi saya membawa sampil ini,” sanggahnya.
Melihat sikap dari Haji Sulaiman yang keras kepala itu, panitia tersebut akhirnya juga kembali ke halaman masjid untuk mengurusi pembagian daging kurban.
Sementara itu Haji Sulaiman di rumahnya mulai disibukkan dengan sampil yang dibawa dari masjid. Ia mulai berpikir sampil tersebut akan dimasak apa.
“Sate? Gule? rendang?” Tanya Haji Sulaiman ragu dalam hatinya.
“Ah, masa bodoh! Buat sate saja!” katanya dalam hati.
Irisan daging yang akan dibuat sate sudah siap. Satu persatu daging tersebut ditusuk dengan penusuk dari bambu. Haji Sulaiman sangat bersemangat membuat sate sapi. Ia pun memasak sendiri tanpa dibantu oleh istrinya.
Jari-jemari Haji Sulaiman menari-nari menusuki irisan daging sate satu per satu. Ia sambil membuat perapian yang akan digunakan membakar daging itu. Ia pun tak sadar bahwa daging sapi yang dimakan itu bukan haknya. Daging sapi yang sudah dikorbankan berarti sudah menjadi hak para warga. Terutama fakir miskin.
Perapian yang terbuat dari arang telah membara. Kepulan asap dengan aroma khas sate menyebar kemana-mana. Puluhan bahkan ratusan hidung tetangga Haji Sulaiman juga menikmati aroma khsa pembakaran sate. Sedangkan Haji Sulaiman tak henti-henti mengipasi bara yang terkadang meredup akan mati. Tapi karena semangatnya ia tak merasa capek. Pada akhirnya lima tusuk sate diangkat dari perapian karena sudah matang.
”Hemmmm! Maknyussss!” katanya sambil menciumi bakaran daging sapi ini ke hidungnya.
Puluhan tusuk daging sapi masih terpanggang di atas bara. Tangan Haji Sulaiman terus menerus mengipasi bara agar tidak padam sambil membolak-balik daging supaya tidak hangus. Peluh yang membasahi keningnya tak dihiraukan. Satu, dua kali peluhnya menetes di atas bara.
“Huh!”
Setelah selesai membakar puluhan tusuk daging dibawa ke dalam rumah. Lalu diletakkan di piring yang sudah diberi sambal sate yang terbuat dari kecap dan bawang merah. Mata Haji Sulaiman menatap puluhan sate dari daging sampil sapi. Air liurnya hampir saja menetes di atas piring karena tak kuat menahan nafsu makan.
Ketika istrinya datang dengan membawa sebakul nasi, Haji Sulaiman segera duduk dan siap-siap menyantap masakan sate sampil. Ia mendengus bagai singa kelaparan yang memakan mangsanya. Satu tusuk, dua tusuk sate tertelan ke dalam perut. Tangan kanan dan kirinya bergantian meraih sate yang diletakkan di atas piring bercampur dengan sambal. Eh, mungkin karena bersemangat ia tak hati-hati. Seiiris daging menyangkut di tenggorokan.
“Bu, tolong! Tolong, Bu!” teriaknya minta tolong.
“Pukuli punggungku biar daging ini melompat keluar! Cepat, Bu!”
Sekali pukul seiiris daging sate yang tersedak di tenggorokan tak mau keluar.
”Lebih keras lagi, Bu!”
Dengan serta merta istri Haji Sulaiman memukulnya dengan keras.
”Aduh, Bu! Jangan keras-keras!”
”Katanya suruh lebih keras?” tanya istrinya kesal.
Lama semakin lama daging itu belum juga keluar. Tenggorokannya terasa sakit dan napasnya mulai sesak.
”Tolong..!!!” teriak istrinya yang tak tega melihat kondisi suaminya dengan mata terbelalak.
”Tolooooong!!” teriaknya lagi karena teriakan pertama tidak didengar oleh para tetangga.
Akhirnya tetangga dekatnya mendengar teriakan istri Haji Sulaiman. Mereka kaget saat mendapati Haji Sulaiman kejang-kejang dengan mata terbelalak di samping meja makan. Tangannya bergerak-gerak ke arah warga seakan ingin minta tolong kepada mereka yang datang.
Para tetangganya saling berbisik membicarakan Haji Sulaiman. Mereka ada yang menyumpah serapah karena Haji Sulaiman telah memakan daging kurban miliknya.
”Makanya..!!” kata warga.
”Husss!” tegur warga lainnya.
”Sekarang kita bawa saja ke puskesmas atau ke dokter terdekat” usul ketua RT-nya.
”Betul, pak! Segera kita angkat lalu diantarkan ke puskesmas.
Tubuh Haji Sulaiman yang tambun digotong empat orang. Mereka mengeluh karena bobot Haji Sulaiman ini lebih dari sekuintal.
Sesampai di puskesmas, Haji Sulaiman menjadi tontonan pasien. Mereka bertanya kepada warga yang mengantar Haji Sulaiman tentang penyebab dari peristiwa yang dilaminya.
”Tersedak sate daging sampil, Pak,” jawabnya kepada pasien yang tanya itu.
”O, alah kleleken daging ta?” kata calon pasien sambil tesenyum geli.
Setelah ditangani dokter puskesma hampir dua jam, akhirnya daging yang macet ditenggorokan Haji Sulaiman keluar. Ia lambat laun dapat bernapas dengan tenang karena tidak ada yang menghambat saluran pernapasan.
”Makanya Pak kalau sapi itu sudah dikorbankan jangan minta jatah lagi. Maafkan sikap dan perilaku Bapak, ya, Mas!” kata istri Haji Sulaiman kepada Kusnaji, ketua panitia kurban.
”Ya, Bu. Saya sangat menyesal telah mengambil daging sampil binatang kurbanku,” katanya memelas.
Ia lantas berjanji akan membelikan sapi sebagai pengganti dari sapi yang telah dikorbankan dan ia menganggap bahwa akibat dari sikap dan perilakunya pengorbanan sapinya tidak sempurna. Maka keesokan harinya ketika Haji Sulaiman sudah di rumah, ia memerintahkan pantia untuk membelikannya lagi dan dipotong lalu dibagi-bagikan kepada warga yang membutuhkan. (*)

Wanar, 15 November 2010

*Cerpenis pembina SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Kini beralamat di Wanar Pucuk Lamongan