Assalamualaikum Wr. Wb.

Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat kepada manusia lain

Sabtu, 18 Desember 2010

Hapuslah Air Matamu

Hapuslah air matamu
jangan kau biarkan terkuras
menyesali nasib yang menimpa
hapuslah air matamu
jangan kau biarkan menetes
di lekuk pipimu
Tuhan menimpakan cobaan
sesuai dengan kemampuan
Tuhan tak akan memberikan cobaan
di atas kemampuan kita

awan panas
mengurung
biarlah menjadi butiran emas
yang gemerlap menghias kehidupanmu
kelak
biarkan lahar dingin
yang tertumpah menjadi
sungai susu
dan debunya menyambung kehidupanmu
nanti
hapulah air matamu
jangan kau biarkan mengaliri nasib
yang kau alami kini
sinar matahari tak akan putus asa
memberikan kehangatan
agar kita berkeringat mengejar
masa depan yang lebih sempurna
hapuslah air matamu saudaraku
di balik tebal debu
ada mutiara-mutiara yang
membahagiakanmu

Senin, 13 Desember 2010

Meningintip Gamang

senja menelikung tajam jalan
membawa angan tuk mengarungi dirimu
desah ragu
ngiang telinga
seraut wajah hasrat menggundah

aku tahu engkau tak muncul
dalam realita hidup
mengintip gamang merangkul diri
pada bebukitan
aku menaik puncak
lalu berseru memanggili namamu

aduhai
liukan mencari jatidiri
menunggu kepastian
yang tak kunjung tiba

Selasa, 07 Desember 2010

Bayang-Bayang Wajah

Cerpen karya Ahmad Zaini

Kabut pagi belum mengering. Padahal sinar matahari sudah mulai menghangatkan tubuh. Tapi toh begitu, bening air telaga sudah mulai menguap tersengat oleh hangat sinarnya. Kumparan waktu menyeretku berkeliling di tepian telaga. Riak-riak kecil menggiring ikan-ikan berkecipak di permukaannya. Sebatang pohon mangga menyapaku saat aku duduk di bawahnya. Daun kuningnya membelai wajahku yang muram memikirkan lembaran hari yang tiada menentu.
Pikirku terkuras untuk mengukir hari-hariku agar menjadi sebuah barang berharga. Selama ini hari-hari kubiarkan berjalan seiring perputaran matahari. Sejak fajar menjelang pagi hingga fajar menjelang malam, waktu kubiarkan berlalu tak membekas sedikitpun pada diriku. Aku tahu bahwa waktu tak akan datang lagi setelah dia berlalu bersama angin. Ia tak akan kembali yang kedua kali. Akan tetapi, kenapa aku selalu terlena membiarkan waktu pergi begitu saja?
Keluh kesah sang istri karena desakan kebutuhan hidup setiap hari memenuhi ruang kepala. Telinga terasa sakit jika mendengar keluhan-keluhan itu. Sebagai lelaki aku merasa gagal untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tapi apakah sebagai istri terus hanya menuntut yang di luar batas kemampuan suami? Kurasa tidak. Sebab selama suami sudah menggerakkan tangan untuk mengais rizki dan hasilnya sudah diberikan kepada istri berarti kewajibannya sudah gugur. Istri tinggal mengatur pengeluaran hingga menjelang bulan berikutnya.
Menjelang senja saat langit merah bertarung dengan malam aku tak kuasa menahan himpitan beban yang semakin kencang. Catatan-catatan kebutuhan selama sebulan telah berderet di tembok malam. Yang satu belum terbayar yang lain sudah mengantre.
“Di saku celana. Ya, di saku celana masih tersimpan uang,” kataku dengan yakin.
Celana yang bergantung di tiang kuraba saku samping dan belakang. Tak ada yang tersentuh jemariku yang merayap mencari uang itu. Tiba-tiba dari balik kelambu istri muncul dan mengatakan bahwa uang yang ada dalam saku sudah ia gunakan untuk belanja pagi tadi.
“Aduh, mati aku! Itu uang untuk membeli pulsa!” kataku kesal.
Hari-hariku tercoret oleh ketidakpuasan istri. Ia selalu mengomel siang dan malam. Setiap keinginan yang terlontar dari mulut cerewetnya selalu kuturuti. Tapi risikonya, setelah tanggal lima belas uang untuk kebutuhan hari-hari tersisa sudah habis.
”Ah, tidak perlu susah! Yang penting anak istri bisa tersenyum. Kan, masih ada uang di tabungan!” suara kecil yang muncul dari dalam hatiku.
Perasaan gembira karena ada uang cadangan di tabungan menghiasi hari itu. Anak istri kutawari untuk berbelanja di minimarket yang berderet di sepanjang jalan. Tanpa basa-basi mereka bergirang ria. Si istri dengan sibuk mencatat belanjaan yang dibutuhkannya. Si anak minta mainan ini itu. Aku sekejap merasa bangga karena bisa membuat mereka tersenyum gembira. Eh, tidak tahunya setelah aku antre di bank berjam-jam ternyata saldo di buku tabunganku tinggal lima puluh ribu.
“Wik.....!” kataku kaget melihat saldo di buku tabungan.
“Ayo, Pak kita berangkat ke minimarket!” rengek anak-anakku.
Selembar uang lima puluh ribuan kuselipkan di dompetku yang menipis. Sedangkan sewaktu aku melirik catatan belanja istriku jumlah totalnya mencapai sekitar dua ratus ribuan. Belum lagi permintaan anak-anakku. Tapi apa boleh buat karena aku yang menawari mereka belanja mau tidak mau aku harus memberangkatkan mereka ke minimarket.
Ruang sejuk karena berpendingin di supermarket sedikit mendinginkan kekuatiran hatiku. Rasa was-was saat melihat tangan istriku trampil menyikat barang ini barang itu sedikit terkurangi. Anak-anakku yang mengambil beragam mainan juga kubiarkan. Keranjang barang belanja yang ditenteng oleh istriku sudah penuh. Akan tetapi, mereka juga belum berhenti melirik barang-barang yang dipajang di minimarket.
”Sudah, Bu?” tanyaku pada istri.
“Mestinya, belum. Karena banyak barang yang kosong terpaksa aku hanya belanja ini saja,” jawabnya dengan enteng.
Dalam hatiku mendongkol. Barang yang menggunung di keranjang belanja dibilang “hanya segini”.
“Capek deh!” ungkapku kesal.
Tangan kekar istriku menyodorkan barang belanjaan. Jari-jemari kasir terampil menghitung barang-barang yang dibongkar dari keranjang istriku. Di monitor kasir sempat kulirik ternyata biaya keseluruhan adalah seratus lima puluh ribu rupiah. Sedangkan uangku hanya lima puluh ribu.
“Ini, Bu dua seratus lima puluh ribu,” kata kasir sambil menyodorkan selembar kertas pada istriku.
Keringat mengucur deras menyerbu keluar dari pori-pori. Seketika itu pula kaos yang kukenakan basah oleh keringat. Istriku dengan mata menyalak menyodorkan hasil print out dari mesin kasir. Kuambil dompet yang terselip di saku belakang dengan tangan gemetar. Perlahan kubuka dompet berwarna hitam lantas kuambil selembar uang lima puluh ribuan.
”Cuma ada ini, Bu,” aku menunjukkan uang tersebut pada istri.
Raut istriku memerah dengan mata yang melotot tajam. Ia mengeluarkan raungan bak harimau yang siap menerkam mangsa. Aku mundur selangkah untuk menghindari terkaman istriku.
”Aduh, Pak!” jerit anakku karena jempol kakinya terinjak oleh sandal jepitku.
”Kurang ajaaaar!” auman istriku menggetarkan seluruh isi ruangan minimarket. Aku malu tiada terkira saat semua pandangan orang yang berada di ruang tersebut melihat ke arahku. Sekeranjang belanjaan dibiarkan tergeletak di meja kasir. Istriku membalikkan tubuhnya dan langsung melompat ke luar ruangan minimarket.
Gemetar tubuhku melihat wajah seram istriku seperti Maklampir, tokoh antagonis dalam sinetron Misteri Gunung Merapi. Aku melihat ia berkelabat menyerberang jalan dengan menyeret tangan anakku. Aroma wangi dari baju yang dikenakan oleh istri masih tertinggal di tempatku berdiri mematung. Sesaat kemudian bayangannya lenyap ditelan pertokoan yang berjajar di sepanjang trotoar.
“Aku yang salah,” ratapku dalam hati.
***
Di sudut telaga yang berair bening aku duduk seorang diri. Aku meratapi nasibku sebagai lelaki yang tak berdaya di mata istri. Bayang-bayang wajahku yang muram dan semakin mengerut tergores usia, terlihat hancur tak berbentuk. Bayang-bayang itu selalu kuamati dari permukaan air telaga yang menggiring riak-riak kecil ke tepian. Pohon magga yang berjajar rapi di sepanjang tepi telaga diam membisu tak mau menyapa diriku yang termenung di bawahnya. Bahkan mereka pun tak tega sekedar meluruhkan daun kuningnya yang membangunkan diriku dari ratapan yang berkepanjangan ini.
Sementara di rumah suasana menjadi hening. Ruangan yang luas tampak begitu sempit. Saat istriku duduk dengan ongkang-ongkang kaki di dingklik panjang peninggalan mertua, aku enggan masuk ke rumah.
”Ayo, Pak main kuda-kudaan!” ajak anakku sambil menyeret tanganku ke dalam rumah.
Hatiku berdebar-debar takut jika istriku menyalak lagi. Aumannya pasti bisa merobohkan rumah yang tak layak huni ini. Ah, ku tak peduli yang penting aku bisa enjoy bersama anak tersayangku yang sudah melupakan kekecewaannya sewaktu di minimarket tadi.
”Ayo, Pak yang kencang larinya!” gertak anakku dari atas punggungku. Spontan aku memacu rangkakku dengan kencang. Tanpa kusadari aku menyelonong di kolong meja makan.
”Duk!” bunyi sesuatu. Eh, anakku terjatuh dan keningnya berdarah terbentur meja. Jerit tangisnya segera kubungkam dengan telapak tangan agar istriku yang tadi ke ruang belakang tidak mendengar tangisan anakku. Darah yang mengalir di keningnya segera kuusap dengan kaos dalamku. Kening anakku sudah bersih tak ada tetesan darah lagi. Tapi benjolan yang muncul di kening bagian atas sulit kuhilangkan.
”Bagaimana, ya, caranya?” pikirku.
Topi yang bergambar ipin dan upin yang tergeletak di meja tamu segera kuraih lalu kukenakan di kepala anakku.
”Beres. Sudah tidak kelihatan.”
Istriku yang berderap dari ruang belakang menggetarkan seluruh pelataran. Hentakan-hentakan langkah kakinya seperti ribuan kaki kuda prajurit yang berlaga di medan perang. Jantungku berdegup kencang saat anakku di tarik ke gendongannya. Tanpa basa-basi ia melompat keluar bak singa menerjang lingkaran api dalam sirkus di televisi.
Pada siang hari istriku datang dengan diiringi sinar hatahari yang membakar. Gelembung-gelembung darah seakan mendidih di seluruh tubuhnya. Langkah kakinya berderap semakin kencang dengan mata terbelalak lebar. Tangan kirinya mengelus-elus kening anakku yang benjol terbentur meja sedangkan tangan kananya mencengkeram topi ipin upin sambil diacung-acungkan ke langit yang menyemprotkan hawa panas menyengat.
Aku masuk ke dalam kamar pura-pura tidak mengetahui kedatangannya. Saat kaki kananku baru melangkah ke dalam kamar tiba-tiba istriku sudah membentak dari pintu depan.
“Kau apakan anakku ini? Kenapa keningnya benjol seperti buah kedondong ini? Pakkkkkk…! Jawab!” ia membentakku dengan suara menggelegar.
“Ti, ti, tidak ta, ta, tahu!” jawabku gemetar sampai terbata-bata.
“Tidak tahu?! Terus darah yang ada di kaos dalammu itu darah siapa, heh?” serang istriku sambil menunjukkan bercak darah yang ada di kaosku.
“Sial! Aku lupa membersihkannya,” gerutuku dalam hati.
“Kamu ini suami apa? Kerja tak becus, momong anak gak becus. Bisanya hanya duduk daglu di talaga. Ya ini akibatnya, kepala anaknya dibenturkan di meja,” istriku mengomel.
Aku diam tak menyanggah apa yang ia ucapkan. Aku duduk diam tak menggubris semua yang diucapkan.
”Nanti kalau sudah lelah mengomel, ya..., ia akan berhenti sendiri,” belaku dalam hati.
Setelah menghabiskan bahan omelannya, tensi darah istriku menurun. Ia lantas berlalu di depanku menuju kamar.
Bayang-bayang sikap istriku yang semakin berani padaku terkadang mengukir pikiran tidak enak dalam hatiku. Aku lelaki yang tak berdaya jika berhadapan dengan istri. Padahal aku sendiri sudah berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab dengan mencarikan mereka nafkah setiap hari. Tapi lagi-lagi karena penghasilanku yang tidak memadahi selalu menjadi alasannya berani merendahkan diriku.
Namun apa boleh buat, rizki itu sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa sejak zaman azali. Rizkiku segini sudah dicatat oleh Tuhan. Jadi tidak bisa dipaksa berpenghasilan seperti yang lain. Kalau terlalu dipaksakan maka yang terjadi adalah suami akan nekat melakukan tindakan yang menyimpang. Kalau sudah begitu, keluarga sendiri nantinya yang akan menanggung malu. Jadi aku berprinsip selama aku masih berkerja halal, tetap akan kujalani. Apa pun nanti hasilnya. Aku tak menghiraukan omelan-omelan istriku yang setiap hari memekakkan telingaku.
Deretan ratusan ikan berenang-renang di bening air telaga. Mereka hidup rukun berjalan berdampingan. Saat kulemparkan patahan ranting pohon mangga mereka berlomba-lomba mendapatkannya. Ketika mereka tahu bahwa itu bukan makanannya, mereka pun pergi mencari makanan yang lain dengan tetap berderet dan berenang bersama-sama. (*)
Lamongan, April 2010

* Pembina SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Tinggal di Wanar Pucuk Lamongan

Senin, 08 November 2010

Do’a Si Miskin

(Drama karya Rodli TL)

Musik Pagi.
Pagi hari tatkala ayam jantan masih berkokok dan embun-embun mulai berterbangan. Anak-anak mulai bangun dari tidurnya, dan menyanyikan sebuah lagi dari tempat tidurnya masing-masing

Inilah pagi ayam jantan berkokok
Membangunkan matahari
Embun-embun bercengkrama
Pada rerumputan

berkemas menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah
Mereka siap dan pergi ke sekolah.
1. Anak-Anak : (berteriak bersama) berangkat ke sekolah!
(bernyanyi) Oh ibu dan ayah selamat pagi
Ku pergi sekolah sampai kan nanti

Sesampainya di ruang kelas mereka berucap salam dengan sesama teman mereka

2. Renti : hai teman-teman, selamat pagi dan selamat belajar! Sebelum
bapak ibu guru datang, mari kita berlatih menyanyikan hymne
guru, bagaimana?
3. Teman-teman : setuju….

Teman-teman sekolah menyambut dengan suka ria ajakan untuk berlatih bernyanyi.



Mereka kemudian membuat formasi barisan koor hymne

4. Renti : dua, tiga, empat
5. Anak-Anak : (koor)
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa

Di tengah nyanyian hymne, satu persatu mereka meninggalkan Lita. Hanya Mega yang masih setia menemani

Musik mengalun sedih

6. Lita : Mega, kenapa teman-teman meninggalkan kita?
7. Mega : saya tidak tahu
8. Lita : saya heran, padahal kan tadi teman-teman bersemangat untuk
belajar bernyanyi
9. Mega : ya, mungkin mereka belum sarapan
10. Lita : maksudnya?
11. Mega : ya mereka tidak kuat menahan lapar, kemudian mereka pergi
untuk beli jajan sebagai pengganti sarapan
12. Lita : aneh!?
13. Mega : kamu tadi sudah sarapan?
14. Lita : tidak biasa
15. Mega : maksud kamu?
16. Lita : ya, saya tidak biasa sarapan sebelum berangkat ke sekolah
17. Mega : jadi kamu belum sarapan kan?
18. Lita : belum
19. Mega : kalau begitu ayo kita beli jajan seperti mereka
20. Lita : saya tidak punya uang
21. Mega : sudahlah, ayo! (menarik tangan Lita)

Menghilang pergi ke kantin diiringi musik sedih
Diam

Musik ceria mulai terdengar. Hanung dan teman temannya berkumpul menyanyi dan menari

22. Hanung : hai teman-teman, aku punya uang banyak sekali
23. Rozi : halaaah, paling-paling kamu bohong
24. Hanung : hai Rozi, sejak kapan kamu tidak percaya sama saya?
25. Rozi : sejak kamu belum mentraktir kita
26. Eko : iya Hanung, kalau kamu betul-betul banyak uang. Traktir kita lagi dong!
27. Hanung : ah kalian, selalu saja minta ditraktir
28. Supri : lha kalau kita yang mentraktir ya tidak pantas, yang banyak
uangnya kan Hanung
29. Hanung : okelah, let’s go (sambil merogo sakunya mencari uang, namun
tak menemukannya) sebentar, uang saya dimana ya? Oh ya saya
ingat, uang itu tadi saya simpan di saku tas (mengambil tas dan
mencari uangnya, namun ia tidak menemukan uangnya)
30. Hanung : uang saya dimana ya, kok tidak ada. Hai teman-teman, apa kalian
menemukan uang saya?
31. Eko : paling kamu lupa tidak membawanya
32. Hanung : tidak, saya ingat betul, tadi saya simpan di saku tas ini
33. Supri : paling-paling sudah kamu buat beli jajan.

Di sasat mereka kebingungan, tiba-tiba Renti masuk kelas

34. Renti : ada apa ini?
35. Hanung : hai Renti, kamu yang mengambil uang saya?
36. Renti : apa kamu bilang Hanung?
37. Hanung : kamu mengambil uang saya!
38. Renti : jangan sembarangan kamu menuduh orang
39. Hanung : saya tidak menuduh. Saya hanya tanya
40. Renti : Hanung, Itu artinya menuduh
41. Hanung : terserah kamu. Sekarang kembalikan uang saya
42. Renti : dengar Hanung. ibu bapak saya tidak pernah mengajari saya
menjadi pencuri. Ibu bapak saya mengutuk anak-anaknya berbuat
yang merugikan orang lain.
43. Eko : sudah diam! Jangan bertengkar
44. Supri : Hanung, bagaimana kalau kamu tanya pada Lita dan Mega. Pada
waktu kita keluar beli jajan, mereka kan masih di dalam kelas
45. Rozi : ya hanung, tanya saja mereka berdua
46. Hanung : kalau begitu mari kita cari mereka

Mereka pun beramai-ramai memanggil Lita dan Mega. Mereka memaksa Lita dan Mega ke ruang kelas dan mengadilinya.

47. Lita : ada apa ini, kenapa kalian berbuat kasar kepada kami?
48. Rozi : ya, ini pantas diperlakukan pada pencuri
49. Mega : apa kamu bilang?
50. Eko : Mega, jangan berlagak. Terus terang aja!
51. Mega : hai teman-teman, maksud kalian apa?
52. Hanung : Lita si anak miskin dan kamu Mega. Tidak biasanya kalian
berdua ke kantin membeli jajan.
53. Lita : terus kenapa kalian berbuat kasar pada kami? Apa tidak boleh
kami sesekali membeli jajan.
54. Hanung : hai si miskin, diam! Darimana kamu dapat uang?
55. Lita : dibelikan sama Mega


Teman-teman lain mulai merasa menemukan siapa pencurinya

56. Rozi : hai teman-teman, sudah jelas kan siapa yang mencuri uang
Hanung.
57. Eko : pencurinya adalah……
58. Hanung : stop tidak perlu kalian jawab
59. Eko : Pencurunya adalah…..
60. Supri : Stop, tidak perlu dijawab. Tidak perlu dikatakan. Semua disini
sudah mengetahui siapa pencurinya. Hanung tanya sekali lagi
pada Lita!
61. Hanung : Lita si anak miskin, dari mana kamu uang untuk beli jajan?
62. Mega : hai, apa maksud kalian, kalian menuduh kami mencuri uang
kalian?
63. Hanung : Diam Mega, aku tidak tanya kalian.
64. Hanung : Lita, jawab! Dengan uang siapa kamu beli jajan?
65. Lita : saya dibelikan Mega
66. Eko : kesimpulanya, pencurinya adalah…………
67. Supri : stop, sekali lagi tidak perlu dijawab. Kita semua sudah tahu
pencurinya.
68. Renti : Mega, kalian mengerti kan maksud teman-teman?
69. Mega : ya aku mengerti. Kalian menuduhku mencuri uang Hanung.
70. Hanung : (marah) mega aku tidak menuduhmu. Tapi ini kenyataan. Kamu
adalah pencurinya
71. Mega : (marah) Hanung, jangan sembarangan kamu bicara..
72. Eko : Mega, jangan berkelit.
73. Mega : oh jadi kalian bersepakat menuduh kami pencuri

Teman-teman lain ramai berteriak mengatakan Mega dan Lita yang mengambil uang Hanung.

74. Hanung : dengarkan mereka Mega… bukan saya saja yang mengatakan
kamu dan temanmu si miskin itu pencuri. Tapi semua teman yang
ada di sini bersepakat bahwa kalian yang mengambil uang saya
75. Mega : atas dasar apa kalian menuduh kami?
76. Supri : ketika teman-teman pergi jajan, kalian masih saja tinggal di kelas
77. Eko : dan hari ini kamu banyak uang, buktinya kamu beli jajan
78. Hanung : Mega akui saja perbuatan tercela itu.
79. Mega : Berapa uang kamu yang hilang?
80. Hanung : lima puluh ribu
81. Mega : silakan cari di tas saya atau tas Lita
82. Hanung : Teman-teman tolong geledah tas mereka berdua

Teman-teman Hanung mengeluarkan semua isi tas mereka berdua tapi mereka tak menemukannya.

83. Eko : tidak ada Nung!
84. Rozi : ya jelas tidak ada, uangnya sudah dibelikan jajan
85. Mega : saya membeli jajan tidak dengan uang sebesar itu. Saya hanya
mebeli satu bungkus kerupuk yang harganya lima ratus rupiah
dan dengan uang lima ratus rupiah. Kerupuk itu kami makan
berdua. Demi Tuhan tidak lebih dari itu. Tanyakan pada Bulek
penjual jajan itu kalau tidak percaya!
86. Lita : ya aku akui itu, memang aku tidak sering keluar kelas untuk beli
jajan seperti kalian. Aku akui, kalian memang benar memanggilku dengan sebutan si miskin karena kami benar-benar anak miskin. Lebih dari itu yang aku alami. Kami bukan saja miskin, tapi kami juga tidak punya ibu. Sungguh teman kami tak pernah melakukan perbuatan tercela itu (menangis mengingat ibunya)

Musik mengalun sedih, mengiringi nyanyian

87. Mega : (menyanyi) Oh ibu air matamu
Ku ingin bersimpuh padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga di telapak kakimu
88. Lita : maafkan saya ibu, sungguh aku tidak melakukan perbuatan yang
tidak terpuji itu. Sungguh ibu saya bukan pencurinya.

Tuhan kabulkanlah do’a si miskin yang sedang teraniayah ini.
Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang tidak menjadi haknya.
Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang tidak menjadi haknya.
Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang bukan haknya
Tuhan berikan kami petunjuk menuju jalan yang benar, jalan yang Engkau ridloi.
Tuhan, sungguh kabulkan do’a si miskin yang piatu yang kini
sedang teraniaya.

Nyanyian Mega terus mengalir mengiringi doa si yatim. Sedang Lita khusuk menagisi do’anya pada Tuhan.

Tiba-tiba Rozi dan Eko mengerang kesakitan. Mereka sakit perut. Mempertanyakan jajan yang mereka beli

89. Eko : aduuh sakit
90. Rozi : perutku juga sakit, aduuuh
91. Eko : mungkin roti yang kita beli tadi. Roti itu mungkin sudah jamuran.
92. Rozi : bukan hanya roti itu, tapi uang yang kita gunakan untuk membeli
93. Eko : maksudnya uang yang kita curi itu
94. Rozi : juga do’a Lita si miskin yang piatu itu.
95. Eko : aduuuh sakit
96. Rozi : perutku juga sakit, aduuuh

Tamat

Lamongan, 20 September 2004

Selasa, 02 November 2010

Aku Tak Diam

Sungguh aku tak mampu
membiarkan dirimu sendiri
di tempat tersunyi
aku akan mengentaskan dirimu
dari kepenatan dan kegelapan yang
membelenggumu

aku tak diam
ketika rintih pedih
menyeruak dari rahim kezaliman

aku tak diam
membiarkan air matamu
membanjiri kawah
menganga dalam kesombongan

bebatuan cadas lambat laun akan runtuh
mengubur kemunafikan ini
dan badai kesengsaraan akan sirna

Babat, 31 Oktober 2010

Selasa, 26 Oktober 2010

Rindu Matahari

Sekujur tubuh terasa
bagai ditusuk jarum,
sakit tak kunjung pergi
tinggalkan derita berkepanjangan.

Gigil membungkus embun
tak lepas membalut diri terbaring
didekap bulan sabit
menjelang siang. Tak tahu
mengapa matahari
belum tampakkan wajah
hangat belaiannya kurindu
sepanjang malam,
cerahnya kunanti sepanjang hari.

Angin gerah menggelitik sekujur tubuh,
lantas pergi ke mana ia sukai

Desember 2009

Wajah itu

Wajah-wajah itu
menatap tajam,
wajah-wajah itu
dingin membatu,
wajah-wajah itu
memancar caya merah,
wajah-wajah itu
bersembunyi di balik topeng,

Desember 2009

Senin, 18 Oktober 2010

Jangan Pernah Kau Datang Lagi

Gulita menyelimuti malamku
saat detak-detak waktu menyeret
tengah malam menunggu.

Kuterjaga ketika wajahmu hadir
dalam mimpiku. Hari-hari yang kulalui
wajahmu telah kupendam rapi
seakan telah hilang dari ruang,

Adakah rasa itu muncul lagi
ketika angin telah membawanya
terbang melintasi awan. Sementara debu-debu
telah bersih dari meja perjamuan
sepeluh tahun silam. Kuharap jangan kau datang lagi
dalam igau disaat bunga-bunga mekar
dan menebar aroma wangi.

Sebentar lagi hari kan senja
dan matahari akan tenggelam di telan malam.
Pergilah dan jangan mengusik
kejernihan air telaga
tempat bermain ikan-ikan kecil
di keriangan masa

5 Juli 2010

Selasa, 12 Oktober 2010

Gerimis di Suatu Malam

Menjelang pagi, mataku masih sulit dipejamkan. Di setiap arah mataku memandang yang tampak hanyalah wajah Luna yang baru saja menghadap Sang Mahakuasa. Kelopak mataku terasa pedih seakan ada yang mengganjal. Lagi-lagi bayangan wajahnya yang mengganjal agar mata ini tidak terpejam. Di setiap sisi ruang kamarku terbayang ribuan lukisan wajahnya yang tersenyum manis. Tawa manja yang merayu saat aku bertemu dengannya setahun yang lalu. Setelah kutatap bayangan itu ribuan wajah Luna pun lenyap ditelan cahaya lampu temaram di ujung malam.
Kusandarkan tubuhku pada tembok berwarna kelabu. Guratan-guratannya menarik khayalan saat aku bersuka cita dengan Luna kala itu. Namun, khayalan itu hanyalah kamuflase belaka. Ia lenyap lantas berganti air mata membanjiri kamarku.
”Andaikan aku tak berangkat saat itu, mungkin malam ini aku duduk berdampingan dengannya,” kataku dalam lamunan.
”Ah, tidak! Luna telah tiada. Aku pembunuh! Aku pembunuh!” teriakku menyalahkan diriku.
Kubekap wajahku dengan bantal guling kusam di pangkuanku. Air mataku terkuras oleh hisapan kapas-kapas yang bersembunyi di balik kantong bantal itu. Kepengapan hidup benar-benar kurasakan saat ini. Orang yang kucintai telah meninggalkanku selama-lamanya.
”Haruskah aku menyusulnya?” tanyaku pada diriku sendiri.
”Jangan!” tolak nuraniku.
”Kematian jangan dicari, kematian tidak bisa dihindari. Kapan dan di mana saja, kematian akan menjemput kita!” bisik nuraniku.
Kini hari-hariku dipenuhi perasaan bersalah yang menyebabkan kematian Luna. Pada suatu sore ia mengirimkan kabar padaku lewat pesan singkat. Dia minta diantarkan ke rumah teman sekolahnya. Saya sudah memperingatkannya agar ke sana besok pagi saja. Namun, ia masih bersikeras meminta aku mengantarkan ke rumah temannya itu. Katanya sangat penting. Akhirnya aku mengalah dan mengantarkannya demi rasa sayangku kepadanya.
Waktu maghrib telah berlalu. Malam mulai menungguku di gerbang hari. Diiringi rintik hujan kupacu motorku ke rumah Luna. Jaket yang kupakai basah kuyup terkena gerimis di malam itu. Sesampai di rumah Luna, kulepas jaket lalu kukibaskan berkali-kali agar butiran air hujan yang menempel segera lepas dari jaketku. Aku melihat Si Luna dari balik jendela kaca rumahnya. Ia sudah menungguku di ruang tamu. Dengan memakai swiiter yang ia beli sewaktu rekreasi ke WBL, ia mengusir dingin malam itu. Tangannya yang terasa dingin segera menjabat tanganku lantas ia mengajakku berangkat ke rumah temannya.
Motorku beranjak dari depan rumah Luna. Suaranya meraung mengusir gerimis yang menerobos cerobong knalpot.
”Agak cepat, dong!” pintanya dengan memukul pundakku.
”Sabar, Luna! Jalannya licin, nih!” jawabku.
Ia rupanya tidak mau bersabar. Ia terus memaksaku memacu motorku melintas di jalan yang licin setelah diguyur hujan.
Pekat malam sedikit mengganggu pandangan mataku. Kilatan cahaya kendaraan yang berpapasan denganku sedikit menyilaukan penglihatanku. Tapi aku tak peduli. Aku tidak mau mengecewakannya. Motor kupacu dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai di rumah temannya.
Hawa dingin tak kuhiraukan. Jari-jari hujan membelai wajahku hingga butiran-butirannya mengalir melintasi relung mukaku. Sebutir air hujan mengecup bibir kemudian dengan spontan kuludahkan kembali air itu.
”Asin...!”
”Kenapa, kok, asin?”
”Bibirku dikecup air hujan!” jawabku menggoda.
Si Luna tertawa di atas motor yang melaju semakin kencang.
”Aku cemburu, lho!” katanya.
”Sudah, sudah! Ini di atas motor, lho! Jangan bergurau!”
Si Luna lantas diam tak mengucap sepatah kata pun lagi yang dapat mengganggu konsentrasiku. Lewat jalan berliku, kudahului satu persatu kedaraan di depanku. Di setiap celah yang dapat kulalui, motor yang kupacu lalu menyelinap dan menerobos himpitan kendaraan. Luna tak terlihat ketakutan atau panik saat motorku berada di antara dua kendaraan yang kulalui. Ia semakin senang dan bersemangat agar ia cepat sampai di rumah temannya.
Dekapan kedua tangannya terasa semakin erat. Nafas perutku terasa kembang kempis ditekan tangan halus yang melingkar penuh di perut. Ia seakan menikmati perjalanan yang penuh dengan risiko ini. Mesin motorku meraung-raung memecah gendang telinga. Bak tenaga kuda, motor kupacu tanpa sedikitpun kukendorkan tarikan gasnya. Deru suara motorku mengalahkan dering ponsel dari saku celana si Luna. Untung getaran ponsel itu menyadarkannya bahwa ada panggilan masuk ke ponselnya.
Dekapan erat Luna sedikit mengendur. Tangan kirinya meraih ponsel dari saku celanannya. Sementara tangan kanannya masih melingkar di tubuhku. Saat melintas di jalan berliku, motorku tergelincir dan aku tak mampu mengendalikan motorku lagi. Kami bergulingan jatuh dari motor. Sempat aku melihat motorku meluncur sendiri lantas menabrak pohon yang berdiri di samping jalan raya. Setelah tubuhku terhempas dan terjerembab di persawahan, aku mencari Luna yang sempat lepas lantas terlempar dari motor. Aku tak mendengar rintihan atau erangan dari Luna. Malam itu benar-benar sunyi. Aku melihat benda-benda di sekelilingku lewat terpaan lampu kendaraan yang berlalu. Tapi hingga mataku perih belum juga menemukan Luna.
Kaki kananku terasa perih. Kuraba dengan jari-jari tanganku. Darah mengucur deras dari betis dan telapak kakiku. Saat aku berusaha membalut lukaku dengan sobekan baju lengan panjangku agar darah tidak mengucur, tiba-tba terdengar suara ponsel dari bawah pohon mahoni di pinggir jalan raya. Lampu berirama memberi isyarat mungkin Luna ada di situ. Kuberjalan pelan mendekati kelap-kelip cahaya ponsel. Betapa terkejutnya aku saat melihat tubuh Luna meringkuk bersimbah darah di bawah pohon mahoni. Kuangkat kepalanya yang mengucurkan darah segar. Kupegang denyut nadinya tak ada detaknya. Akhirnya aku berteriak sekuat pita suaraku meminta pertolongan kepada pengguna jalan yang melintas di situ.
Wajah Luna membeku. Ia diam tak menyembulkan senyuman menggodaku. Wajahnya bersimbah darah kudongakku dengan mengharap keajaiban datang. Tapi ia tetap diam.
”Tolooooooong!” teriakku dengan suara serak. Tapi belum ada orang yang datang membantu.
Ponsel yang tergeletak di sisi Luna berdering lalu kuangkat.
”Halo, siapa ini?” tanya suara dari ponsel.
“Aku Daffa, teman Luna. Cepat kemari! Aku butuh pertolongan,” kataku panik.
”Kenapa?”
”Kami kecelakaan.”
”Baik, saya akan segera ke sana. Posisimu di mana?”
Aku kebingungan menjawab pertanyaannya. Aku tak tahu berada di mana sekarang ini. Tak ada rambu penunjuk arah. Tak ada pula papan nama yang bisa menujukkan di mana kami berada.
”Di tikungan jalan menuju ke rumahmu,” jawabku sekenanya.
Hampir dua jam kami bermandi air hujan dan air mata. Aku bingung apakah si Luna masih hidup atau sudah tiada. Dari tanda-tanda di denyut nadinya yang tak berdetak lagi telah menandakan bahwa Luna telah tiada. Aku takut, gugup menghadapi masalah ini sendirian. Dengan sekuat tenaga, tubuh Luna kubopong ke pinggir jalan raya. Baru saja kuturunkan tubuh Luna di pinggir jalan, tiba-tiba ada mobil yang berhenti di depanku.
“Lunaii, Lunaiii!” teriak seorang gadis yang melompat dari pintu mobil tersebut. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia merangkul lantas menggoyang-goyang tubuh Luna yang lunglai.
“Luna, jangan pergi!” ratapnya yang tenggelam air mata.
Aku hanya duduk terpaku melihat teman Luna yang merangkul dan menggoyang-goyang tubuh Luna yang tak bernyawa. Sementara aku tak berdaya. Aku tak mampu membantu mereka mengurusi Luna. Akhirnya, tubuhku kusungkurkan di pinggir jalan raya sembari menutup muka dengan kedua telapak tangan. Kemudian dari arah belakang, ada orang yang membangunkanku lantas memapah diriku masuk ke dalam mobil.
Di tengah gerimis di malam itu, lewat kaca jendela mobil yang dipenuhi embun air hujan aku melihat tubuh Luna dibopong dan dimasukkan ke dalam ambulance. Lampu biru di atas ambulance mengubur hatiku ke dalam kesedihan yang mendalam. Tangisku kutahan tak kutumpahkan saat itu. Biarlah nanti air mataku kutumpahkan sebagai pembersih rasa salahku yang menyebabkan kematian Luna.
Saat pemakaman dilaksanakan, tangis pilu mewarnai para pelayat yang kebanyakan adalah kerabat dan teman-teman sekelas Luna. Mereka merasa kehilangan sosok yang supel dan pandai bergaul seperti Luna.
Di atas pusara tertancap dua batu nisan yang bertuliskan Luna Sukmawati. Di atas gundukan tanah itu, taburan ratusan, ribuan bahkan jutaan bunga dengan aroma wangi surga menghiasi pemakaman orang yang terkasih dan tercinta.

*Cerpenis
tinggal di Wanar Pucuk Lamongan

Minggu, 03 Oktober 2010

Di Senja Pantaimu

Hamparan pasir bertingkai angin senja
Gemerisik mengusik riak gelombang
menghantam karang
Deburan ombak menggelora
Hinggapi hati riang

Pada sebongkah batu karang
Kularungkan segala resah
Lalu padanya aku bertanya
Masih pantaskah diri melarungi samudra
Di tengah compang layar bahtera

Biru laut membahana
Terbias surya di ufuk sana
Wajahku terpana melihat dara yang berselimut sutra
Apakah dia bidadari yang turun dari nirwana
Berselendang ungu nan mempesona
Ketika malam tiba?

Siulan camar bernyanyi riang
Menghibur gundah gulana yang datang
Semenjak siang
Lalu angin senja kabarkan
Dialah dara yang datang tadi malam

Kuulurkan tangan menyambut kedatangannya
Beriring desir pantai yang mengiris hati nan lara
Namun semakin jauh jemari menggapai
Tiada tersentuh jua bayang-bayang dirinya

Apakah dara berselendang sutra
Hanyalah fatamorgana di siang kemarau
Yang tak kunjung tiba?

Tatap mata sayu
Terukir bola mata syahdu
Sekecup merah
Mengatakan rindu bertemu
Di senja pantaimu

Lamongan, 16 September 2010
00.30 WIB

Malam Penyempurna

Sumebyar cahya rembulan
Di gelap malam
Menyibak kekalutan yang terbawa
Ketika angin dan panas merambah
Rautku

Gemintang bertabur
Menari riang
Bermandi sinar rembulan
Melumat malam hingga fajar
Tatkala kokok pejantan bersahutan

Dingin menghembus
Di sela jutaan pori
Berbagi semi di pucuk
Hijau royo-royo
Berlinang embun pengampunan
Di malam penyempurna

7 Syawal 1431 H

Selasa, 21 September 2010

Rindu Desah

Ke mana kata-kata mesra
Yang kau tebar setiap kala
Bukannya aku memburu kata itu
Hingga kumengejar huruf-hurufnya
Yang empat namun dapat menjerat
Setiap yang tertambat
Hanya dengan nafsu liarku

Bibir berucap
Digerakkan hati yang tersembunyi
Degub menahan cuatan
Meronta di bibir hari

Aku merindukan setiap desah
Menggelitik di gendang dengar
Kedamaian berselimut tentram
Kurasakan di saat gundah menggulana hati

Kata-kata terangkai menusuk hati
Terasa kini
Pedas membakar
Tak ada bumbu penentram
Di liang suara

Sudah punahkah kata-kata itu
Tertelan amarah yang mengelilingi
Setiap desah udara yang terhembus

Hanya pada batang hujan kuberharap
Mampu padamkan panas
Lalu menumbuhkan kata-kata mesra
Meneduhkan setiap hasrat

Telagabiru, April 2010

Kamis, 16 September 2010

Gadis Ayu

Bunga di taman
Mekar semerbak harum
Tangan halus gadis ayu
Memetik setangkai
Diselipkan di rambut terurai

Mata melirik
Tersenyum bibir merah menantang
Diri yang meradang

Oh, gadis ayu
Berpipi lesung
Izinkanlah diri singgah
Di ruang hati
mengurai segala isi

Rabu, 15 September 2010

Serpihan Kenangan

Sepanjang jalan berlubang
Kumenerobos tebal kabut
Mengais serpihan kenangan
Yang telah terpisah
Lima belas tahun lamanya

Harum kembang kapas
Di sepanjang jalan itu
Membangkitkan semangat
Buka lembaran baru
mengabadikan kenangan masa lalu

Dibakar perapian berselimut
Amis ikan bakar
Terurai canda tawa yang terbungkam
Lima belas tahun lamanya

Gerah menggelitik jiwa
Berpayung serumpun bambu
Seirama deritan memanggil hati
Untuk bersatu tanpa batas waktu

Bulangan, 15 September 2010

Jumat, 10 September 2010

Sunyi di Pagi Kemenangan

Pagi kemenangan berpesta
Dengan saling memaafkan
Riuh rendah takbir
Menggema menelusuri
Cahaya matahari yang timbul tenggelam
Di tengah siang

Ada yang tertinggal
Dalam pekik kemenangan
Sunyi hati terpenjara
Keraguan di balik kelam
Kemudian buncah kegalauan
Menindih gerak langkah
Berat susuri jalan keikhlasan

2 Syawal 1431 H.

ZIARAH KUBUR

Cerpen Ahmad Zaini


Sore itu suasana di kampung halaman ramai oleh lalu lalang orang yang pergi ke makam. Mereka membawa karangan bunga untuk berziarah, mendoakan para leluhur dan orang tuanya yang sudah meninggal dunia. Di kampung halamanku memang ada tradisi setiap menjelang bulan puasa masyarakat pergi ke makam untuk mendoakan para arwah anggota keluarganya agar mendapatkan rahmat dan ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Di pinggir jalan aku menunggu paman yang akan berangkat ziarah. Dia pulang sebentar untuk mengambil karangan bunga yang akan ditaburkan di atas makam. Menurut cerita para orang tua bahwa bunga yang masih segar kemudian ditaburkan di atas makam itu akan bisa meringankan siksa si mayit. Makanya setiap paman hendak berziarah tak pernah lupa membawa karangan bunga.
“Ayo berangkat!” ajak paman. Kemudian aku disuruh membawa sekarangan bunga yang beraneka macam dengan menyebarkan aroma yang wangi menusuk hidung. “Nanti karangan bunga yang kamu bawa, taburkan di atas kuburan ayahmu!” kata paman. Aku mengiyakan semua yang dia perintahkan. Aku sendiri masih belum paham betul dengan tradisi ziarah seperti itu. Maklumlah semenjak ayahku meninggal dunia, aku sudah ikut pakde di kota. Sedangkan di kota, apalagi di lingkungan pakde tradisi berziarah sudah mulai sirna. Hanya orang-orang tertentu yang melakukan itu.
Di makam puluhan orang antri masuk ke lokasi makam. Aku melihat sebagian dari mereka melepas sandal. Dalam hatiku bertanya-tanya kenapa mereka melepas sandal? Padahal tanah di pekuburan itu banyak semak belukar dan duri yang membahayakan kakinya. Paman kemudian menggandengku. Rupanya ia bisa membaca pikiranku. Paman mengatakan bahwa itu dilakukan sebagai tata krama orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia. Menurut paman orang yang meninggal dunia itu masih bisa melihat tingkah polah orang yang masih hidup.
Aku melangkah dengan hati-hati takut terkena duri. Setiap batu nisan yang tertulis nama selalu kubaca. Paman serta merta memperingatkan diriku. “Jangan membaca tulisan yang ada di batu nisan, nanti kamu jadi pelupa, lho!” kata paman memperingatkan diriku. Aku sejenak tertegun memikirkan apa hubungannya membaca tulisan di batu nisan dengan lupa. Namun itu tak kutanyakan kepada paman. Aku diam dan mengiyakan semua kata paman.
“Nah, itu kuburan ayahmu,” kata paman sambil menunjuk ke arah gundukan tanah. Aku melihat batu nisan yang bertuliskan “Rahmat bin Ahmad, Wafat Rabu Legi, 17 Agustus 1990”. Namun aku tak berani membaca tulisan itu. Aku hanya melihatnya karena takut aku nanti jadi pelupa.
Sekarangan bunga yang kubawa kemudian kutaburkan di atas makam ayah. Setelah selesai kemudian paman mengajakku mendoakan arwah ayahku dengan membaca doa-doa. Mulai dari surat Al Ikhlas, An naas, Al falaq, hingga ayat kursi. Setelah itu paman memimpin berdoa dan aku hanya mengamini saja.
Menurut paman bahwa orang yang meninggal dunia itu juga butuh makan. Jika manusia yang masih hidup makannya dengan nasi maka orang yang sudah mati makannya dengan doa. Maka orang yang masih hidup terutama keluarga harus selalu mengirimkan doa kepada ahlinya yang sudah meninggal dunia. Aku diam memperhatikan apa yang disampaikan paman dengan sungguh-sungguh.
Aku dan paman masih berdoa dengan khusu’ di depan makam ayah. Aku teringat semasa ayah masih hidup. Ia begitu tegas dalam membimbing anak-anaknya. Termasuk membimbing aku. Pernah pada suatu hari ketika aku bermain kelereng dengan temanku hingga menjelang maghrib, ayah tiba-tiba datang kemudian menjewer telingaku hingga terasa panas. Itu dilakukan karena saya belum shalat ashar. Waktu itu usiaku delapan tahun. Usia yang wajib bagi orang tua untuk mengajari anaknya shalat. Jika hingga sepuluh tahun kemudian anak tidak mau melaksanakan shalat wajib bagi orang tua untuk menakut-nakuti atau memberi sangksi misalnya dupukul. Tapi memukulnya tidak dengan emosi atau dengan pukulan yang membahayakan. Tujuannya hanya agar anaknya jera dan mau menjalankan shalat tidak lebih dari itu. Oleh karena itu, saya sangat bangga dengan ayah karena ketegasannya dalam mendidik anak-anaknya.
Tanpa terasa aku sudah duduk di depan makam ayahku selama setengah jam. Matahari sudah hampir tenggelam. Orang-orang yang berziarah juga sudah mulai pulang. Paman kemudian menepuk pundakku mengajakku berdiri dan pulang ke rumahnya. Angin senja berhembus pelan membelai daun-daun kamboja di pekuburan. Bunga kamboja yang putih berseri luruh di atas makam ayah. “Mudah-mudahan dapat meringankan siksa dan dapat mendoakan ayahku agar dosa yang selama ia lakukan semasa hidupanya diampuni oleh Tuhan,” doaku dalam hati saat melihat makam ayahku dipenuhi bunga-bunga yang kutaburkan dan bunga kamboja yang baru jatuh di atasnya.
Sesampai di rumah, aku kemudian menghela napas dengan bersandar di sebuah kursi. Tiba-tiba bibiku berseru dari dalam kamar memerintahkan agar aku mencuci kaki dulu sebelum masuk rumah. Menurut bibi orang yang baru datang dari kuburan itu harus cuci kaki agar tidak ketiban sial dalam hidupnya. Atau paling tidak kaki kita tidak kotor terkena tanah makam. Karena tanah di makam itu tidak terjamin kesuciannya. Makanya kita juga tidak diperbolehkan melaksanakan shalat di tanah makam. “Iya, Bi,” jawabku kemudian aku menuju ke tempat mandi di depan rumahk. Tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang dari mushalla yang berjarak sekitar lima puluh meter dari rumah paman.
Langit semakin kelam kemudian fajar di ufuk barat menjadi hitam. Orang-orang yang usai melaksanakan shalat maghrib kemudian berkerumun di depan rumahnya untuk mencari udara. Padahal menurut ilmu kesehatan angin malam itu tidak baik bagi kesehatan. Tapi apa boleh buat malam itu udara sangat gerah hingga mereka nekat keluar rumah.
“Paman, besok aku kembali ke kota. Besok lusa sudah mulai masuk kerja. Di samping itu mungkin pakde sudah cemas menungguku. Terima kasih atas bimbingan paman yang telah memperkenalkan dan mengajariku berziarah kubur!” kataku kepada paman. “Ya, sama-sama. Itu sudah kewajibanku membimbing dirimu sebagai wakil dari ayahmu yang telah meninggalkan kita lebih dulu. Semoga di dalam kubur ia selalu mendapatkan kebahagiaan dan pertolongan dari Tuhan. Apalagi anak bungsunya mau berziarah mendoakannya,” tutur paman. “Dan jangan lupa menjelang lebaran kamu harus datang lagi ke kampung untuk berziarah ke makam ayahmu. Doakan arwah ayahmu usai melaksanakan shalat lima waktu. Jadilah anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya yang sudah meninggal,” timpalnya.
Waktu sudah semakin larut. Aku harus segera istirahat untuk menghemat tenaga karena besok pagi aku harus menempuh perjalanan jauh. Aku sudah tak tahan menahan rasa kantuk kemudian aku masuk ke kamar dan dalam sekejap aku terlelap dalam tidur.
Kicau burung dengan udara segar pagi hari sangat enak aku rasakan. Sebantar di halaman rumah paman aku melemaskan otot-otot yang masih kaku. Dari dalam rumah bibi sudah berteriak-teriak memanggilku untuk segera makan pagi. Aku bergegas masuk dan di meja makan sudah siap menu makanan kesukaanku. Aku makan dengan lahap hingga habis lalapnya. Setelah sarapan aku segera mengemasi pakaianku kemudian aku berpamitan kepada bibi dan pamanku.
“Salam kepada pakdemu. Ingatkan jangan lupa kampung halaman,” pesan paman. “Insya Allah akan saya sampaikan. Assalamualaikum!” pamitku seraya melangkah meninggalkan rumah sederhana tapi penuh dengan kedamaian.
Matahari pagi bersinar terang menciptakan bayang-bayang diriku di tengan perjalanan. Kupanggul tas yang berisi pakaian yang kupakai selama di rumah paman. Dalam perjalanan pulang aku berkali-kali berpapasan dengan muda-mudi yang usai jalan-jalan. Mereka menjaga kebugaran tubuhnya untuk menghilangkan rasa kantuk yang menyelimuti dirinya. Padahal banyak di antara mereka masih mendengkur dalam tidur. Maklumlah mereka sudah bangun sejak pukul 3 untuk makan sahur.
Sesampai di tujuan, pakde dan bude sudah menunggu di depan pintu. Mereka mencemaskan diriku yang selama seminggu berpisah dengan mereka. Mereka merangkulku sebagai ungkapan rasa kangen. Aku membiarkan mereka merngkulku karena sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri.
“Pakde mencemaskan dirimu. Alhamdulillah kau saat ini sudah di rumah. Bagaimana kabar pamanmu di kampung?” tanya pakde. “Syukur, baik-baik saja. Mereka sehat semuanya,” jawabku. “Oh, iya, Ada pesan buat pakde. Kata paman, pakde tidak boleh melupakan kampung halaman,” ceritaku. “Ya, jelas tidak lupa. Masak pakde bisa melupakan mereka. Pakde, kan orang baik, ya,kan?” kata pakde melucu yang disambut tawa oleh bude.
Menurut pakde menjelang lebaran kami serumah akan pulang kampung. Di samping untuk berziarah kubur ke makam orang tua juga untuk bersilaturrahim kepada sanak famili dan juga para tetangga yang sudah ditinggalkan sejak puluhan tahun yang lalu. (*)

1 September 2008
Penulis beralamat di Wanar Pucuk Lamongan

Kamis, 09 September 2010

Aku Malu

Padamu
Aku malu
Sebab lukaku

Belatung menari
Menghisap nanah di antara
Kemolekan tubuh berkulit mulus

Kubalut lukaku
Berikat kasa
Namun anyir darah
Menembus balutan tipis
Busuk
Memuntah di muka pengadil

Lamongan, November 2009

Senin, 06 September 2010

Aku Ingin

Kemukus kabarkan lewat mendung di suatu malam
Kata kakek, “Akan ada bencana besar, Cucu,”
Hanya yang jadi pertanyaan bahaya besar apa?
Mungkinkah kepemimpinan di negeri ini yang terus digoyang
Ataukah dasyat bencana alam akan terulang

“Jangan dulu!” kataku
Negeriku masih berbenah
Negeriku masih bersolek
Menata wajahnya yang masih carut marut
Oleh kekeringan
Kelaparan
Banjir bandang
Dan krisis kepemimpnan

Berikan waktu agar proses yang dijalani negeriku
Tuntas
Jangan kau putus di tengah jalan

Kasihan anak kecil berkaleng kecil
Yang setiap hari berteriak meminta belas kasihan
Kasihan para gelandangan yang mencari tempat berlindung dari kejaran satpol PP
Kasihan mereka yang berebut setiap ada pembagian zakat dan sembako

Aku ingin mereka merasakan
Cita yang mereka inginkan tercapai
Anak-anak tersenyum ceria
Bermain jernih air dan bermain gasing
Aku ingin mereka tinggal di apartemen berfasilitas layak
Seperti mereka yang merasakannya kini

Aku ingin
Mereka tersenyum berbalut merah putih berkibar di jagad raya
Dengan kobar semangat yang tak pernah pudar

Aku ingin keretakan dalam negeri ini
Dapat terkait
Dalam persatuan dan kesatuan
Menjaga martabat dan harga diri bangsa

Teruskah kita terbenam dalam Lumpur penderitaan
Sementara luas wilayah kita terbentang
Dari Sabang sampai Merauke

Aku ingin hidup layak
Di atas bumi negeriku sendiri
Karena hujan batu di negeri sendiri
Lebih kupilih daripada
hujan emas di negeri orang

Aku ingin negeri ini memperlakukan rakyat
Sebagai penduduk pribumi
Jangan perlakukan mereka seperti orang asing
Mereka berhak mengecap sebutir nasi
Yang dihasilkan dari bumi ini
Mereka berhak meminum jernih
Air dari tanah yang subur ini

Aku ingin
Hanya ingin

Nenek, Oh, Nenek

Di depan beranda rumah, nenek duduk santai sembari mengelus rambut memutih yang disimpul menjadi sanggul. Sambil memandang suasana sore ia mengecapi sirih yang sudah hampir lembut. Ludah yang bercampur dengan sirih, nenek semprotkan ke tanah. Warna merah seperti darah menodai tanah di sekitar tempat duduknya. “Ayo, Nek masuk ke rumah! Hari sudah senja,” seruku padanya. “Nanti dulu. Saya masih menikmati suasana senja,” jawabnya sambil tiada henti menyirih. Aku membiarkan dia yang sedang asyik menyirih di tengah terpaan angin senja. Usia selanjut dia memang tidak baik berlama-lama duduk di beranda rumah. Daya tahan fisiknya yang menurun akan memudahkan angin malam menggerogoti tubuhnya. Dan biasanya akan masuk angin. Nah, jika sudah masuk angin maka yang muda-muda akan kerepotan. Tapi itulah sifat orang yang sudah tua. Ia akan kembali seperti anak kecil. Cengeng dan keras kepala. ”Nek, besok sudah memasuki bulan puasa. Jika nanti nenek masuk angin, nenek tidak bisa melaksanakan ibadah puasa. Mari masuk!” ajakku. Kali ini permintaanku dia dengarkan. Ia berdiri lantas meninggalkan tempat duduknya sambil berpegangan pada dinding rumah. Tubuhnya yang sudah reot tertatih-tatih merayap masuk ke rumah. Aku bermaksud membantu dengan memapahnya berjalan. Kedua tangan keriputnya menolak uluran tanganku. Ia bersikeras berjalan sendiri masuk ke dalam rumah. ”Eit, aku masih kuat,” katanya. Menjelang bulan puasa, kita mengadakan selamatan. Kita memohon kepada Allah mudah-mudahan kita diberi kesehatan jasmani dan rohani sehingga dapat melaksanakan ibadah puasa dengan sempurna. Nenek malam itu duduk di ranjang tidurnya. Dari dalam kamar ia memanggilku. Segera aku masuk ke dalam kamarnya. ”Aku mau ikut selamatan,” katanya. ”Apa, ikut selamatan? Nenek, yang ikut selamatan itu laki-laki. Perempuan seperti nenek ini cukup berdoa dari dalam kamar saja. Nenek tidur lagi biar besok badannya segar dan bisa berpuasa.” “Eit, tidak mau! Aku akan ikut selamatan!” sanggahnya dengan keras kepala. Hati kecilku tertawa melihat tingkah nenek yang seperti anak kecil. Maka aku biarkan dia berjalan sempoyongan keluar kamar mengikuti selamatan. ”Begini saja, Nek! Selamatan ini keliling dari satu rumah ke rumah yang lain. Nenek ikut selamatan kalau giliran di rumah kita, Nek!” Dia diam tak merespon kata-kataku. Nenek lantas duduk sambil memandangi serangga malam yang menari-nari mengitari lampu di ruang tamu. “Nek, usia seperti nenek ini tidak wajib berpuasa. Maka nenek besok tidak usah puasa, ya!” saranku kepada nenek. “Eit, jangan menganggap saya tidak kuat puasa! Walaupun usiaku sudah tua tetapi saya tidak kalah dengan yang muda-muda,” katanya dengan nada tinggi. “Ya, sudahlah kalau begitu! Akan tetapi, kalau nenek tidak kuat, ya, jangan memaksakan diri!” Para warga yang akan selamatan sudah berada di depan pintu. Kedatangan mereka menghentikan pembicaraanku dengan nenek. Anakku yang mengikuti selamatan langsung menghampiriku sambil menyodorkan jajan pasar ke pangkuanku. Nenek yang asalnya diam tiba-tiba menggerakkan tangannya menyambar jajan yang baru kuterima dari anakku. Anakku tertawa terpingkal-pingkal melihat kelucuan sikap buyutnya. ”Ayo, mari masuk semua!” aku mempersilakan para tetangga. Mereka kemudian masuk dan duduk bersila membentuk lingkaran. Nenek yang semula duduk manis sambil menikmati jajan dari anakku langsung turun. Ia ikut duduk berbaur dengan para tetangga yang sedang melantunkan doa-doa. Perilakunya yang seperti anak kecil membuat para tetangga terusik kekhusukan doanya. Mereka menahan tawa ketika melihat nenek yang menggeleng-nggelengkan kepalanya ketika berdoa. Mereka ingat sikap anak-anaknya di rumah ketika mendengar bacaan tahlil. Usai doa-doa dilantunkan, sebagai tuan rumah saya memberi shadaqah kepada tetangga yang mengikuti acara selamatan. Sebungkus jajan pasar kubagikan satu persatu. Ketika giliran nenek, jajannya sudah habis. Nenek pun memperlihatkan sikap kekanak-kanakannya. Ia merengek meminta jatah jajan kepadaku. Sontak para tetangga yang ada pun tertawa semua. Anak semata wayangku yang kebetulan berada di dekat buyutnya pun tak ketinggalan ikut tertawa terpingkal-pingkal melihat sikap buyutnya. Ia pun mengambilkan sebungkus jajan yang ia dapatkan dari rumah tetangga yang lain. ”Ini, Yut!” kata anakku dengan menyodorkan sebungkus jajan. Nenek langsung berdiri sempoyongan. Melihat buyutnya yang hampir jatuh, anakku meraih tangan kanan nenek hendak membantunya berdiri. ”Eit, jangan memegang tanganku! Aku masih mampu berdiri,” tolak nenek yang disambut tawa oleh tetangga. Dan nenek pun menjauh dari tempat tersebut untuk menikmati jajan yang diberi oleh anakku. Malam semakin larut. Riuh rendah suara orang tadarrus telah sepi. saya dan anakku pun lelap dalam tidur pulas. Menjelang makan sahur aku bangun terlebih dahulu untuk mempersiapkan makan sahur bagi anak dan nenekku. Ketika aku menyalakan saklar lampu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh wanita tua renta yang sudah duduk di meja makan. ”Masya Allah, Nek! Sudah bangun?” tanyaku terkejut. “Iya. Saya kuatir bangun kesiangan dan tidak sempat makan sahur,” jawabnya dengan rada-rada mengantuk. Aku tertawa geli melihat nenek yang keras kepala seperti itu. Ia tidak percaya kepadaku karena kuatir aku tidak membangunkannya untuk makan sahur. Sampai-sampai dia harus bangun lebih dahulu menunggu waktu makan sahur di kursi ruang makan. Lalu aku memasak dan mengahangatkan sayur yang sudah kubuat sewaktu hari masih sore. Tak lupa anak semata wayangku- yang sudah dua tahun tidak bisa menjalankan ibadah puasa bersama ayahnya yang pergi merantau ke negeri jiran- aku bangunkan. ”Buyut sudah dibangunkan?” tanya anakku. ”Lha, itu siapa?” jawabku sambil menunjuk ke arah nenek. Anakku pun tersenyum simpul menahan gelak tawa. Seruan makan sahur yang bersahut-sahutan di penghujung malam membuat suasana makan sahur menjadi mengasyikkan. Belum lagi tetabuhan anak-anak yang berkeliling kampung membangunkan warga untuk makan sahur. Mendengar tetabuhan anak-anak yang melintas di depan rumah, nenek pun langsung berdiri dan memanggut-manggutkan kepalanya mengikuti irama yang ia dengar. Aku dan anakku tertawa terpingkal-pingkal. ”Sudah, Nek, sudah! Ayo berdoa dan makan sahur bersama-sama!” ajakku. Dengan lahap nenek menyantap menu makan sahur pertama di bulan puasa tahun ini. Sayur yang masih mengepulkan asap tak ia hiraukan suhu panasnya. ”Dibiarkan dulu, Nek biar tidak panas!” ”Eit, nenek ini jago makan masakan panas!” Ketika sesendok nasi dan sayur yang masih mengepulkan asap dimasukkan ke dalam mulut, nenek merasa kepanasan. Mulutnya dibuka lebar-lebar sambil mendesis kepanasan. ”Apa kata saya? Makanya yang sabar!” Nenek diam tak berani menunjukkan sikap keras kepalanya. Fajar telah tiba. Makan dan minum sudah diharamkan bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa. Saat siang sudah mencapai puncaknya, aku tidak tega melihat kondisi nenek yang lemah. Aku berusaha membujuknya agar membatalkan puasanya. ”Eit, saya masih kuat!” tolaknya. Akhirnya aku hanya diam memandangi nenek yang terkulai lemas di kursi depan rumah. Menjelang berbuka menu buka puasa sudah kusiapkan di meja makan. Waktu berbuka puasa masih lima belas menit. Kami sudah berkumpul di ruang makan. Tiba-tiba tangan nenek meraih semangkok kolak kacang hijau yang sudah kuhidangkan di meja makan. ”Eit, belum waktunya!” larangku yang ditertawakan oleh anakku. Dia spontan menghentikan niatnya yang akan menyeruput kolak kacang hijau. Nenek pun duduk lagi sambil memandangi menu yang sudah siap makan. Ketika hari sudah petang dan waktu buka puasa telah tiba, kami pun berbuka puasa dengan menu yang telah aku siapkan. Minum-minuman manis kami dahulukan kemudian memakan nasi secukupnya. Usai berbuka kami pun bersiap-siap menunaikan shalat maghrib di mushalla terdekat. ”Lho, buyutmu mana?” tanyaku pada anakku. Saat kucari kesana kemari ternyata dia masih berada di meja makan menghabiskan kolak kacang hijau yang masih tersisa. Kami pun tertawa terpingkal-pingkal melihat sikap nenekku yang lucu. Wanar, 1 Ramadlan 1431 H *penulis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan