Assalamualaikum Wr. Wb.

Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat kepada manusia lain

Minggu, 09 Januari 2011

DAGING SAMPIL

DAGING SAMPIL
Cerpen karya Ahmad Zaini*

Seekor sapi dijagal di halaman masjid. Puluhan orang bahu-membahu agar sapi yang berbadan gemuk dan liar ini dapat dijinakkan. Ada yang membuat kolongan tambang untuk menjebak kaki sapi. Ada juga yang menarik tambang yang mencocok hidung sapi. Jika salah satu kaki sapi masuk ke dalam kolong tambang maka mereka pun serentak menyeretnya sampai sapi terjatuh dan benar-benar terlentang persis di lubang pemotongan.
Haji Sulaiman menghunus pedang akan memenggal leher sapi. Pedang yang baru saja diasah ia keluarkan dari sarungnya. Tak lama kemudian Haji Sulaiman mendekat ke leher sapi sambil berkomat-kamit membaca doa dan takbir. Sedangkan warga lain yang bergerombol di sekeliling tempat penyembelihan bersama-sama mengumandangkan takbir mengiringi pemotongan sapi. Suara mereka mendayu-dayu berdoa dan memohon kepada Allah agar pengorbanan berupa pemotongan sapi diterimaNya.
Kilatan cahaya pedang Haji Sulaiman sangat mengerikan. Kilaunya menandakan bahwa pedang itu sangat tajam. Sekali gerak leher sapi yang dibeli Haji Sulaiman tiga hari yang lalu benar-benar sobek, putus otot-otot pengapitnya serta tenggorokannya hingga memuncratkan darah segar. Kucuran darah mengalir deras memenuhi kubangan yang dibuat oleh warga.
”Hore...!” teriak anak-anak yang ikut menyaksikan penyembelihan binatang kurban.
”Hai, anak-anak cepat menyingkir! Jangan mengganggu pembolengan sapi ini!” perintah Kusnaji yang saat itu sebagai panitia kurban.
Warga yang ingin membantu pembolengan sapi mulai berdatangan. Di pinggang mereka terselip bilahan pisau yang tajam. Tangan-tangan berotot itu satu per satu memotong bagian-bagian sapi. Ada yang memenggal kepala sapi, kakinya dan lain-lain.
Setelah rampung, mereka membungkus daging sapi. Dan bungkusan-bungkusan tersebut akan dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Haji Sulaiman pemilik dan penyembelih sapi tersebut langsung memotong sampil sapi sebelah kanan. Ia langsung memanggul sampil itu ke pundaknya. Ia langsung pergi sambil membawa sampil ke rumahnya.
Belum sampai Haji Sulaiman sampai di rumah, panitia menyusul lalu menghentikan langkah kaki Haji Sulaiman. Pak Haji kaget dan dalam hatinya bertanya-tanya mengapa panitia kurban ini menghentikan langkahnya.
“Maaf Pak Haji, saya mendapat tugas dari ketua panitia untuk mengambil sampil yang Pak Haji bawa,” kata panitia tersebut.
“Kenapa?” Tanya Haji Sulaiman sambil menatap tajam ke panitia yang berbadan kurus tersebut.
”Begini Pak Haji. Sapi ini adalah binatang kurban Pak Haji. Maka orang yang telah mengorbankan binatangnya itu sudah tidak berhak lagi menerima daging atau yang bagian sapi lainnya,” kata pantia menirukan nasihat dari Kyai Jamal.
”Tidak bisa. Ini sapi saya. Saya yang membeli dan saya juga yang menyembelih. Tidak saya bawa pulang seluruhya sudah sangat beruntung panitia. Terserah saya dan jangan halangi saya membawa sampil ini,” sanggahnya.
Melihat sikap dari Haji Sulaiman yang keras kepala itu, panitia tersebut akhirnya juga kembali ke halaman masjid untuk mengurusi pembagian daging kurban.
Sementara itu Haji Sulaiman di rumahnya mulai disibukkan dengan sampil yang dibawa dari masjid. Ia mulai berpikir sampil tersebut akan dimasak apa.
“Sate? Gule? rendang?” Tanya Haji Sulaiman ragu dalam hatinya.
“Ah, masa bodoh! Buat sate saja!” katanya dalam hati.
Irisan daging yang akan dibuat sate sudah siap. Satu persatu daging tersebut ditusuk dengan penusuk dari bambu. Haji Sulaiman sangat bersemangat membuat sate sapi. Ia pun memasak sendiri tanpa dibantu oleh istrinya.
Jari-jemari Haji Sulaiman menari-nari menusuki irisan daging sate satu per satu. Ia sambil membuat perapian yang akan digunakan membakar daging itu. Ia pun tak sadar bahwa daging sapi yang dimakan itu bukan haknya. Daging sapi yang sudah dikorbankan berarti sudah menjadi hak para warga. Terutama fakir miskin.
Perapian yang terbuat dari arang telah membara. Kepulan asap dengan aroma khas sate menyebar kemana-mana. Puluhan bahkan ratusan hidung tetangga Haji Sulaiman juga menikmati aroma khsa pembakaran sate. Sedangkan Haji Sulaiman tak henti-henti mengipasi bara yang terkadang meredup akan mati. Tapi karena semangatnya ia tak merasa capek. Pada akhirnya lima tusuk sate diangkat dari perapian karena sudah matang.
”Hemmmm! Maknyussss!” katanya sambil menciumi bakaran daging sapi ini ke hidungnya.
Puluhan tusuk daging sapi masih terpanggang di atas bara. Tangan Haji Sulaiman terus menerus mengipasi bara agar tidak padam sambil membolak-balik daging supaya tidak hangus. Peluh yang membasahi keningnya tak dihiraukan. Satu, dua kali peluhnya menetes di atas bara.
“Huh!”
Setelah selesai membakar puluhan tusuk daging dibawa ke dalam rumah. Lalu diletakkan di piring yang sudah diberi sambal sate yang terbuat dari kecap dan bawang merah. Mata Haji Sulaiman menatap puluhan sate dari daging sampil sapi. Air liurnya hampir saja menetes di atas piring karena tak kuat menahan nafsu makan.
Ketika istrinya datang dengan membawa sebakul nasi, Haji Sulaiman segera duduk dan siap-siap menyantap masakan sate sampil. Ia mendengus bagai singa kelaparan yang memakan mangsanya. Satu tusuk, dua tusuk sate tertelan ke dalam perut. Tangan kanan dan kirinya bergantian meraih sate yang diletakkan di atas piring bercampur dengan sambal. Eh, mungkin karena bersemangat ia tak hati-hati. Seiiris daging menyangkut di tenggorokan.
“Bu, tolong! Tolong, Bu!” teriaknya minta tolong.
“Pukuli punggungku biar daging ini melompat keluar! Cepat, Bu!”
Sekali pukul seiiris daging sate yang tersedak di tenggorokan tak mau keluar.
”Lebih keras lagi, Bu!”
Dengan serta merta istri Haji Sulaiman memukulnya dengan keras.
”Aduh, Bu! Jangan keras-keras!”
”Katanya suruh lebih keras?” tanya istrinya kesal.
Lama semakin lama daging itu belum juga keluar. Tenggorokannya terasa sakit dan napasnya mulai sesak.
”Tolong..!!!” teriak istrinya yang tak tega melihat kondisi suaminya dengan mata terbelalak.
”Tolooooong!!” teriaknya lagi karena teriakan pertama tidak didengar oleh para tetangga.
Akhirnya tetangga dekatnya mendengar teriakan istri Haji Sulaiman. Mereka kaget saat mendapati Haji Sulaiman kejang-kejang dengan mata terbelalak di samping meja makan. Tangannya bergerak-gerak ke arah warga seakan ingin minta tolong kepada mereka yang datang.
Para tetangganya saling berbisik membicarakan Haji Sulaiman. Mereka ada yang menyumpah serapah karena Haji Sulaiman telah memakan daging kurban miliknya.
”Makanya..!!” kata warga.
”Husss!” tegur warga lainnya.
”Sekarang kita bawa saja ke puskesmas atau ke dokter terdekat” usul ketua RT-nya.
”Betul, pak! Segera kita angkat lalu diantarkan ke puskesmas.
Tubuh Haji Sulaiman yang tambun digotong empat orang. Mereka mengeluh karena bobot Haji Sulaiman ini lebih dari sekuintal.
Sesampai di puskesmas, Haji Sulaiman menjadi tontonan pasien. Mereka bertanya kepada warga yang mengantar Haji Sulaiman tentang penyebab dari peristiwa yang dilaminya.
”Tersedak sate daging sampil, Pak,” jawabnya kepada pasien yang tanya itu.
”O, alah kleleken daging ta?” kata calon pasien sambil tesenyum geli.
Setelah ditangani dokter puskesma hampir dua jam, akhirnya daging yang macet ditenggorokan Haji Sulaiman keluar. Ia lambat laun dapat bernapas dengan tenang karena tidak ada yang menghambat saluran pernapasan.
”Makanya Pak kalau sapi itu sudah dikorbankan jangan minta jatah lagi. Maafkan sikap dan perilaku Bapak, ya, Mas!” kata istri Haji Sulaiman kepada Kusnaji, ketua panitia kurban.
”Ya, Bu. Saya sangat menyesal telah mengambil daging sampil binatang kurbanku,” katanya memelas.
Ia lantas berjanji akan membelikan sapi sebagai pengganti dari sapi yang telah dikorbankan dan ia menganggap bahwa akibat dari sikap dan perilakunya pengorbanan sapinya tidak sempurna. Maka keesokan harinya ketika Haji Sulaiman sudah di rumah, ia memerintahkan pantia untuk membelikannya lagi dan dipotong lalu dibagi-bagikan kepada warga yang membutuhkan. (*)

Wanar, 15 November 2010

*Cerpenis pembina SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Kini beralamat di Wanar Pucuk Lamongan

Sabtu, 18 Desember 2010

Hapuslah Air Matamu

Hapuslah air matamu
jangan kau biarkan terkuras
menyesali nasib yang menimpa
hapuslah air matamu
jangan kau biarkan menetes
di lekuk pipimu
Tuhan menimpakan cobaan
sesuai dengan kemampuan
Tuhan tak akan memberikan cobaan
di atas kemampuan kita

awan panas
mengurung
biarlah menjadi butiran emas
yang gemerlap menghias kehidupanmu
kelak
biarkan lahar dingin
yang tertumpah menjadi
sungai susu
dan debunya menyambung kehidupanmu
nanti
hapulah air matamu
jangan kau biarkan mengaliri nasib
yang kau alami kini
sinar matahari tak akan putus asa
memberikan kehangatan
agar kita berkeringat mengejar
masa depan yang lebih sempurna
hapuslah air matamu saudaraku
di balik tebal debu
ada mutiara-mutiara yang
membahagiakanmu

Senin, 13 Desember 2010

Meningintip Gamang

senja menelikung tajam jalan
membawa angan tuk mengarungi dirimu
desah ragu
ngiang telinga
seraut wajah hasrat menggundah

aku tahu engkau tak muncul
dalam realita hidup
mengintip gamang merangkul diri
pada bebukitan
aku menaik puncak
lalu berseru memanggili namamu

aduhai
liukan mencari jatidiri
menunggu kepastian
yang tak kunjung tiba

Selasa, 07 Desember 2010

Bayang-Bayang Wajah

Cerpen karya Ahmad Zaini

Kabut pagi belum mengering. Padahal sinar matahari sudah mulai menghangatkan tubuh. Tapi toh begitu, bening air telaga sudah mulai menguap tersengat oleh hangat sinarnya. Kumparan waktu menyeretku berkeliling di tepian telaga. Riak-riak kecil menggiring ikan-ikan berkecipak di permukaannya. Sebatang pohon mangga menyapaku saat aku duduk di bawahnya. Daun kuningnya membelai wajahku yang muram memikirkan lembaran hari yang tiada menentu.
Pikirku terkuras untuk mengukir hari-hariku agar menjadi sebuah barang berharga. Selama ini hari-hari kubiarkan berjalan seiring perputaran matahari. Sejak fajar menjelang pagi hingga fajar menjelang malam, waktu kubiarkan berlalu tak membekas sedikitpun pada diriku. Aku tahu bahwa waktu tak akan datang lagi setelah dia berlalu bersama angin. Ia tak akan kembali yang kedua kali. Akan tetapi, kenapa aku selalu terlena membiarkan waktu pergi begitu saja?
Keluh kesah sang istri karena desakan kebutuhan hidup setiap hari memenuhi ruang kepala. Telinga terasa sakit jika mendengar keluhan-keluhan itu. Sebagai lelaki aku merasa gagal untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tapi apakah sebagai istri terus hanya menuntut yang di luar batas kemampuan suami? Kurasa tidak. Sebab selama suami sudah menggerakkan tangan untuk mengais rizki dan hasilnya sudah diberikan kepada istri berarti kewajibannya sudah gugur. Istri tinggal mengatur pengeluaran hingga menjelang bulan berikutnya.
Menjelang senja saat langit merah bertarung dengan malam aku tak kuasa menahan himpitan beban yang semakin kencang. Catatan-catatan kebutuhan selama sebulan telah berderet di tembok malam. Yang satu belum terbayar yang lain sudah mengantre.
“Di saku celana. Ya, di saku celana masih tersimpan uang,” kataku dengan yakin.
Celana yang bergantung di tiang kuraba saku samping dan belakang. Tak ada yang tersentuh jemariku yang merayap mencari uang itu. Tiba-tiba dari balik kelambu istri muncul dan mengatakan bahwa uang yang ada dalam saku sudah ia gunakan untuk belanja pagi tadi.
“Aduh, mati aku! Itu uang untuk membeli pulsa!” kataku kesal.
Hari-hariku tercoret oleh ketidakpuasan istri. Ia selalu mengomel siang dan malam. Setiap keinginan yang terlontar dari mulut cerewetnya selalu kuturuti. Tapi risikonya, setelah tanggal lima belas uang untuk kebutuhan hari-hari tersisa sudah habis.
”Ah, tidak perlu susah! Yang penting anak istri bisa tersenyum. Kan, masih ada uang di tabungan!” suara kecil yang muncul dari dalam hatiku.
Perasaan gembira karena ada uang cadangan di tabungan menghiasi hari itu. Anak istri kutawari untuk berbelanja di minimarket yang berderet di sepanjang jalan. Tanpa basa-basi mereka bergirang ria. Si istri dengan sibuk mencatat belanjaan yang dibutuhkannya. Si anak minta mainan ini itu. Aku sekejap merasa bangga karena bisa membuat mereka tersenyum gembira. Eh, tidak tahunya setelah aku antre di bank berjam-jam ternyata saldo di buku tabunganku tinggal lima puluh ribu.
“Wik.....!” kataku kaget melihat saldo di buku tabungan.
“Ayo, Pak kita berangkat ke minimarket!” rengek anak-anakku.
Selembar uang lima puluh ribuan kuselipkan di dompetku yang menipis. Sedangkan sewaktu aku melirik catatan belanja istriku jumlah totalnya mencapai sekitar dua ratus ribuan. Belum lagi permintaan anak-anakku. Tapi apa boleh buat karena aku yang menawari mereka belanja mau tidak mau aku harus memberangkatkan mereka ke minimarket.
Ruang sejuk karena berpendingin di supermarket sedikit mendinginkan kekuatiran hatiku. Rasa was-was saat melihat tangan istriku trampil menyikat barang ini barang itu sedikit terkurangi. Anak-anakku yang mengambil beragam mainan juga kubiarkan. Keranjang barang belanja yang ditenteng oleh istriku sudah penuh. Akan tetapi, mereka juga belum berhenti melirik barang-barang yang dipajang di minimarket.
”Sudah, Bu?” tanyaku pada istri.
“Mestinya, belum. Karena banyak barang yang kosong terpaksa aku hanya belanja ini saja,” jawabnya dengan enteng.
Dalam hatiku mendongkol. Barang yang menggunung di keranjang belanja dibilang “hanya segini”.
“Capek deh!” ungkapku kesal.
Tangan kekar istriku menyodorkan barang belanjaan. Jari-jemari kasir terampil menghitung barang-barang yang dibongkar dari keranjang istriku. Di monitor kasir sempat kulirik ternyata biaya keseluruhan adalah seratus lima puluh ribu rupiah. Sedangkan uangku hanya lima puluh ribu.
“Ini, Bu dua seratus lima puluh ribu,” kata kasir sambil menyodorkan selembar kertas pada istriku.
Keringat mengucur deras menyerbu keluar dari pori-pori. Seketika itu pula kaos yang kukenakan basah oleh keringat. Istriku dengan mata menyalak menyodorkan hasil print out dari mesin kasir. Kuambil dompet yang terselip di saku belakang dengan tangan gemetar. Perlahan kubuka dompet berwarna hitam lantas kuambil selembar uang lima puluh ribuan.
”Cuma ada ini, Bu,” aku menunjukkan uang tersebut pada istri.
Raut istriku memerah dengan mata yang melotot tajam. Ia mengeluarkan raungan bak harimau yang siap menerkam mangsa. Aku mundur selangkah untuk menghindari terkaman istriku.
”Aduh, Pak!” jerit anakku karena jempol kakinya terinjak oleh sandal jepitku.
”Kurang ajaaaar!” auman istriku menggetarkan seluruh isi ruangan minimarket. Aku malu tiada terkira saat semua pandangan orang yang berada di ruang tersebut melihat ke arahku. Sekeranjang belanjaan dibiarkan tergeletak di meja kasir. Istriku membalikkan tubuhnya dan langsung melompat ke luar ruangan minimarket.
Gemetar tubuhku melihat wajah seram istriku seperti Maklampir, tokoh antagonis dalam sinetron Misteri Gunung Merapi. Aku melihat ia berkelabat menyerberang jalan dengan menyeret tangan anakku. Aroma wangi dari baju yang dikenakan oleh istri masih tertinggal di tempatku berdiri mematung. Sesaat kemudian bayangannya lenyap ditelan pertokoan yang berjajar di sepanjang trotoar.
“Aku yang salah,” ratapku dalam hati.
***
Di sudut telaga yang berair bening aku duduk seorang diri. Aku meratapi nasibku sebagai lelaki yang tak berdaya di mata istri. Bayang-bayang wajahku yang muram dan semakin mengerut tergores usia, terlihat hancur tak berbentuk. Bayang-bayang itu selalu kuamati dari permukaan air telaga yang menggiring riak-riak kecil ke tepian. Pohon magga yang berjajar rapi di sepanjang tepi telaga diam membisu tak mau menyapa diriku yang termenung di bawahnya. Bahkan mereka pun tak tega sekedar meluruhkan daun kuningnya yang membangunkan diriku dari ratapan yang berkepanjangan ini.
Sementara di rumah suasana menjadi hening. Ruangan yang luas tampak begitu sempit. Saat istriku duduk dengan ongkang-ongkang kaki di dingklik panjang peninggalan mertua, aku enggan masuk ke rumah.
”Ayo, Pak main kuda-kudaan!” ajak anakku sambil menyeret tanganku ke dalam rumah.
Hatiku berdebar-debar takut jika istriku menyalak lagi. Aumannya pasti bisa merobohkan rumah yang tak layak huni ini. Ah, ku tak peduli yang penting aku bisa enjoy bersama anak tersayangku yang sudah melupakan kekecewaannya sewaktu di minimarket tadi.
”Ayo, Pak yang kencang larinya!” gertak anakku dari atas punggungku. Spontan aku memacu rangkakku dengan kencang. Tanpa kusadari aku menyelonong di kolong meja makan.
”Duk!” bunyi sesuatu. Eh, anakku terjatuh dan keningnya berdarah terbentur meja. Jerit tangisnya segera kubungkam dengan telapak tangan agar istriku yang tadi ke ruang belakang tidak mendengar tangisan anakku. Darah yang mengalir di keningnya segera kuusap dengan kaos dalamku. Kening anakku sudah bersih tak ada tetesan darah lagi. Tapi benjolan yang muncul di kening bagian atas sulit kuhilangkan.
”Bagaimana, ya, caranya?” pikirku.
Topi yang bergambar ipin dan upin yang tergeletak di meja tamu segera kuraih lalu kukenakan di kepala anakku.
”Beres. Sudah tidak kelihatan.”
Istriku yang berderap dari ruang belakang menggetarkan seluruh pelataran. Hentakan-hentakan langkah kakinya seperti ribuan kaki kuda prajurit yang berlaga di medan perang. Jantungku berdegup kencang saat anakku di tarik ke gendongannya. Tanpa basa-basi ia melompat keluar bak singa menerjang lingkaran api dalam sirkus di televisi.
Pada siang hari istriku datang dengan diiringi sinar hatahari yang membakar. Gelembung-gelembung darah seakan mendidih di seluruh tubuhnya. Langkah kakinya berderap semakin kencang dengan mata terbelalak lebar. Tangan kirinya mengelus-elus kening anakku yang benjol terbentur meja sedangkan tangan kananya mencengkeram topi ipin upin sambil diacung-acungkan ke langit yang menyemprotkan hawa panas menyengat.
Aku masuk ke dalam kamar pura-pura tidak mengetahui kedatangannya. Saat kaki kananku baru melangkah ke dalam kamar tiba-tiba istriku sudah membentak dari pintu depan.
“Kau apakan anakku ini? Kenapa keningnya benjol seperti buah kedondong ini? Pakkkkkk…! Jawab!” ia membentakku dengan suara menggelegar.
“Ti, ti, tidak ta, ta, tahu!” jawabku gemetar sampai terbata-bata.
“Tidak tahu?! Terus darah yang ada di kaos dalammu itu darah siapa, heh?” serang istriku sambil menunjukkan bercak darah yang ada di kaosku.
“Sial! Aku lupa membersihkannya,” gerutuku dalam hati.
“Kamu ini suami apa? Kerja tak becus, momong anak gak becus. Bisanya hanya duduk daglu di talaga. Ya ini akibatnya, kepala anaknya dibenturkan di meja,” istriku mengomel.
Aku diam tak menyanggah apa yang ia ucapkan. Aku duduk diam tak menggubris semua yang diucapkan.
”Nanti kalau sudah lelah mengomel, ya..., ia akan berhenti sendiri,” belaku dalam hati.
Setelah menghabiskan bahan omelannya, tensi darah istriku menurun. Ia lantas berlalu di depanku menuju kamar.
Bayang-bayang sikap istriku yang semakin berani padaku terkadang mengukir pikiran tidak enak dalam hatiku. Aku lelaki yang tak berdaya jika berhadapan dengan istri. Padahal aku sendiri sudah berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab dengan mencarikan mereka nafkah setiap hari. Tapi lagi-lagi karena penghasilanku yang tidak memadahi selalu menjadi alasannya berani merendahkan diriku.
Namun apa boleh buat, rizki itu sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa sejak zaman azali. Rizkiku segini sudah dicatat oleh Tuhan. Jadi tidak bisa dipaksa berpenghasilan seperti yang lain. Kalau terlalu dipaksakan maka yang terjadi adalah suami akan nekat melakukan tindakan yang menyimpang. Kalau sudah begitu, keluarga sendiri nantinya yang akan menanggung malu. Jadi aku berprinsip selama aku masih berkerja halal, tetap akan kujalani. Apa pun nanti hasilnya. Aku tak menghiraukan omelan-omelan istriku yang setiap hari memekakkan telingaku.
Deretan ratusan ikan berenang-renang di bening air telaga. Mereka hidup rukun berjalan berdampingan. Saat kulemparkan patahan ranting pohon mangga mereka berlomba-lomba mendapatkannya. Ketika mereka tahu bahwa itu bukan makanannya, mereka pun pergi mencari makanan yang lain dengan tetap berderet dan berenang bersama-sama. (*)
Lamongan, April 2010

* Pembina SMA Raudlatul Muta’allimin Babat
Tinggal di Wanar Pucuk Lamongan

Senin, 08 November 2010

Do’a Si Miskin

(Drama karya Rodli TL)

Musik Pagi.
Pagi hari tatkala ayam jantan masih berkokok dan embun-embun mulai berterbangan. Anak-anak mulai bangun dari tidurnya, dan menyanyikan sebuah lagi dari tempat tidurnya masing-masing

Inilah pagi ayam jantan berkokok
Membangunkan matahari
Embun-embun bercengkrama
Pada rerumputan

berkemas menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah
Mereka siap dan pergi ke sekolah.
1. Anak-Anak : (berteriak bersama) berangkat ke sekolah!
(bernyanyi) Oh ibu dan ayah selamat pagi
Ku pergi sekolah sampai kan nanti

Sesampainya di ruang kelas mereka berucap salam dengan sesama teman mereka

2. Renti : hai teman-teman, selamat pagi dan selamat belajar! Sebelum
bapak ibu guru datang, mari kita berlatih menyanyikan hymne
guru, bagaimana?
3. Teman-teman : setuju….

Teman-teman sekolah menyambut dengan suka ria ajakan untuk berlatih bernyanyi.



Mereka kemudian membuat formasi barisan koor hymne

4. Renti : dua, tiga, empat
5. Anak-Anak : (koor)
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa

Di tengah nyanyian hymne, satu persatu mereka meninggalkan Lita. Hanya Mega yang masih setia menemani

Musik mengalun sedih

6. Lita : Mega, kenapa teman-teman meninggalkan kita?
7. Mega : saya tidak tahu
8. Lita : saya heran, padahal kan tadi teman-teman bersemangat untuk
belajar bernyanyi
9. Mega : ya, mungkin mereka belum sarapan
10. Lita : maksudnya?
11. Mega : ya mereka tidak kuat menahan lapar, kemudian mereka pergi
untuk beli jajan sebagai pengganti sarapan
12. Lita : aneh!?
13. Mega : kamu tadi sudah sarapan?
14. Lita : tidak biasa
15. Mega : maksud kamu?
16. Lita : ya, saya tidak biasa sarapan sebelum berangkat ke sekolah
17. Mega : jadi kamu belum sarapan kan?
18. Lita : belum
19. Mega : kalau begitu ayo kita beli jajan seperti mereka
20. Lita : saya tidak punya uang
21. Mega : sudahlah, ayo! (menarik tangan Lita)

Menghilang pergi ke kantin diiringi musik sedih
Diam

Musik ceria mulai terdengar. Hanung dan teman temannya berkumpul menyanyi dan menari

22. Hanung : hai teman-teman, aku punya uang banyak sekali
23. Rozi : halaaah, paling-paling kamu bohong
24. Hanung : hai Rozi, sejak kapan kamu tidak percaya sama saya?
25. Rozi : sejak kamu belum mentraktir kita
26. Eko : iya Hanung, kalau kamu betul-betul banyak uang. Traktir kita lagi dong!
27. Hanung : ah kalian, selalu saja minta ditraktir
28. Supri : lha kalau kita yang mentraktir ya tidak pantas, yang banyak
uangnya kan Hanung
29. Hanung : okelah, let’s go (sambil merogo sakunya mencari uang, namun
tak menemukannya) sebentar, uang saya dimana ya? Oh ya saya
ingat, uang itu tadi saya simpan di saku tas (mengambil tas dan
mencari uangnya, namun ia tidak menemukan uangnya)
30. Hanung : uang saya dimana ya, kok tidak ada. Hai teman-teman, apa kalian
menemukan uang saya?
31. Eko : paling kamu lupa tidak membawanya
32. Hanung : tidak, saya ingat betul, tadi saya simpan di saku tas ini
33. Supri : paling-paling sudah kamu buat beli jajan.

Di sasat mereka kebingungan, tiba-tiba Renti masuk kelas

34. Renti : ada apa ini?
35. Hanung : hai Renti, kamu yang mengambil uang saya?
36. Renti : apa kamu bilang Hanung?
37. Hanung : kamu mengambil uang saya!
38. Renti : jangan sembarangan kamu menuduh orang
39. Hanung : saya tidak menuduh. Saya hanya tanya
40. Renti : Hanung, Itu artinya menuduh
41. Hanung : terserah kamu. Sekarang kembalikan uang saya
42. Renti : dengar Hanung. ibu bapak saya tidak pernah mengajari saya
menjadi pencuri. Ibu bapak saya mengutuk anak-anaknya berbuat
yang merugikan orang lain.
43. Eko : sudah diam! Jangan bertengkar
44. Supri : Hanung, bagaimana kalau kamu tanya pada Lita dan Mega. Pada
waktu kita keluar beli jajan, mereka kan masih di dalam kelas
45. Rozi : ya hanung, tanya saja mereka berdua
46. Hanung : kalau begitu mari kita cari mereka

Mereka pun beramai-ramai memanggil Lita dan Mega. Mereka memaksa Lita dan Mega ke ruang kelas dan mengadilinya.

47. Lita : ada apa ini, kenapa kalian berbuat kasar kepada kami?
48. Rozi : ya, ini pantas diperlakukan pada pencuri
49. Mega : apa kamu bilang?
50. Eko : Mega, jangan berlagak. Terus terang aja!
51. Mega : hai teman-teman, maksud kalian apa?
52. Hanung : Lita si anak miskin dan kamu Mega. Tidak biasanya kalian
berdua ke kantin membeli jajan.
53. Lita : terus kenapa kalian berbuat kasar pada kami? Apa tidak boleh
kami sesekali membeli jajan.
54. Hanung : hai si miskin, diam! Darimana kamu dapat uang?
55. Lita : dibelikan sama Mega


Teman-teman lain mulai merasa menemukan siapa pencurinya

56. Rozi : hai teman-teman, sudah jelas kan siapa yang mencuri uang
Hanung.
57. Eko : pencurinya adalah……
58. Hanung : stop tidak perlu kalian jawab
59. Eko : Pencurunya adalah…..
60. Supri : Stop, tidak perlu dijawab. Tidak perlu dikatakan. Semua disini
sudah mengetahui siapa pencurinya. Hanung tanya sekali lagi
pada Lita!
61. Hanung : Lita si anak miskin, dari mana kamu uang untuk beli jajan?
62. Mega : hai, apa maksud kalian, kalian menuduh kami mencuri uang
kalian?
63. Hanung : Diam Mega, aku tidak tanya kalian.
64. Hanung : Lita, jawab! Dengan uang siapa kamu beli jajan?
65. Lita : saya dibelikan Mega
66. Eko : kesimpulanya, pencurinya adalah…………
67. Supri : stop, sekali lagi tidak perlu dijawab. Kita semua sudah tahu
pencurinya.
68. Renti : Mega, kalian mengerti kan maksud teman-teman?
69. Mega : ya aku mengerti. Kalian menuduhku mencuri uang Hanung.
70. Hanung : (marah) mega aku tidak menuduhmu. Tapi ini kenyataan. Kamu
adalah pencurinya
71. Mega : (marah) Hanung, jangan sembarangan kamu bicara..
72. Eko : Mega, jangan berkelit.
73. Mega : oh jadi kalian bersepakat menuduh kami pencuri

Teman-teman lain ramai berteriak mengatakan Mega dan Lita yang mengambil uang Hanung.

74. Hanung : dengarkan mereka Mega… bukan saya saja yang mengatakan
kamu dan temanmu si miskin itu pencuri. Tapi semua teman yang
ada di sini bersepakat bahwa kalian yang mengambil uang saya
75. Mega : atas dasar apa kalian menuduh kami?
76. Supri : ketika teman-teman pergi jajan, kalian masih saja tinggal di kelas
77. Eko : dan hari ini kamu banyak uang, buktinya kamu beli jajan
78. Hanung : Mega akui saja perbuatan tercela itu.
79. Mega : Berapa uang kamu yang hilang?
80. Hanung : lima puluh ribu
81. Mega : silakan cari di tas saya atau tas Lita
82. Hanung : Teman-teman tolong geledah tas mereka berdua

Teman-teman Hanung mengeluarkan semua isi tas mereka berdua tapi mereka tak menemukannya.

83. Eko : tidak ada Nung!
84. Rozi : ya jelas tidak ada, uangnya sudah dibelikan jajan
85. Mega : saya membeli jajan tidak dengan uang sebesar itu. Saya hanya
mebeli satu bungkus kerupuk yang harganya lima ratus rupiah
dan dengan uang lima ratus rupiah. Kerupuk itu kami makan
berdua. Demi Tuhan tidak lebih dari itu. Tanyakan pada Bulek
penjual jajan itu kalau tidak percaya!
86. Lita : ya aku akui itu, memang aku tidak sering keluar kelas untuk beli
jajan seperti kalian. Aku akui, kalian memang benar memanggilku dengan sebutan si miskin karena kami benar-benar anak miskin. Lebih dari itu yang aku alami. Kami bukan saja miskin, tapi kami juga tidak punya ibu. Sungguh teman kami tak pernah melakukan perbuatan tercela itu (menangis mengingat ibunya)

Musik mengalun sedih, mengiringi nyanyian

87. Mega : (menyanyi) Oh ibu air matamu
Ku ingin bersimpuh padamu
Nyanyikan dongeng belaianmu
Surga di telapak kakimu
88. Lita : maafkan saya ibu, sungguh aku tidak melakukan perbuatan yang
tidak terpuji itu. Sungguh ibu saya bukan pencurinya.

Tuhan kabulkanlah do’a si miskin yang sedang teraniayah ini.
Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang tidak menjadi haknya.
Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang tidak menjadi haknya.
Tuhan berikanlah peringatan kepada orang-orang yang memakan barang yang bukan haknya
Tuhan berikan kami petunjuk menuju jalan yang benar, jalan yang Engkau ridloi.
Tuhan, sungguh kabulkan do’a si miskin yang piatu yang kini
sedang teraniaya.

Nyanyian Mega terus mengalir mengiringi doa si yatim. Sedang Lita khusuk menagisi do’anya pada Tuhan.

Tiba-tiba Rozi dan Eko mengerang kesakitan. Mereka sakit perut. Mempertanyakan jajan yang mereka beli

89. Eko : aduuh sakit
90. Rozi : perutku juga sakit, aduuuh
91. Eko : mungkin roti yang kita beli tadi. Roti itu mungkin sudah jamuran.
92. Rozi : bukan hanya roti itu, tapi uang yang kita gunakan untuk membeli
93. Eko : maksudnya uang yang kita curi itu
94. Rozi : juga do’a Lita si miskin yang piatu itu.
95. Eko : aduuuh sakit
96. Rozi : perutku juga sakit, aduuuh

Tamat

Lamongan, 20 September 2004

Selasa, 02 November 2010

Aku Tak Diam

Sungguh aku tak mampu
membiarkan dirimu sendiri
di tempat tersunyi
aku akan mengentaskan dirimu
dari kepenatan dan kegelapan yang
membelenggumu

aku tak diam
ketika rintih pedih
menyeruak dari rahim kezaliman

aku tak diam
membiarkan air matamu
membanjiri kawah
menganga dalam kesombongan

bebatuan cadas lambat laun akan runtuh
mengubur kemunafikan ini
dan badai kesengsaraan akan sirna

Babat, 31 Oktober 2010

Selasa, 26 Oktober 2010

Rindu Matahari

Sekujur tubuh terasa
bagai ditusuk jarum,
sakit tak kunjung pergi
tinggalkan derita berkepanjangan.

Gigil membungkus embun
tak lepas membalut diri terbaring
didekap bulan sabit
menjelang siang. Tak tahu
mengapa matahari
belum tampakkan wajah
hangat belaiannya kurindu
sepanjang malam,
cerahnya kunanti sepanjang hari.

Angin gerah menggelitik sekujur tubuh,
lantas pergi ke mana ia sukai

Desember 2009