Assalamualaikum Wr. Wb.

Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bisa memberikan manfaat kepada manusia lain

Selasa, 26 Oktober 2010

Rindu Matahari

Sekujur tubuh terasa
bagai ditusuk jarum,
sakit tak kunjung pergi
tinggalkan derita berkepanjangan.

Gigil membungkus embun
tak lepas membalut diri terbaring
didekap bulan sabit
menjelang siang. Tak tahu
mengapa matahari
belum tampakkan wajah
hangat belaiannya kurindu
sepanjang malam,
cerahnya kunanti sepanjang hari.

Angin gerah menggelitik sekujur tubuh,
lantas pergi ke mana ia sukai

Desember 2009

Wajah itu

Wajah-wajah itu
menatap tajam,
wajah-wajah itu
dingin membatu,
wajah-wajah itu
memancar caya merah,
wajah-wajah itu
bersembunyi di balik topeng,

Desember 2009

Senin, 18 Oktober 2010

Jangan Pernah Kau Datang Lagi

Gulita menyelimuti malamku
saat detak-detak waktu menyeret
tengah malam menunggu.

Kuterjaga ketika wajahmu hadir
dalam mimpiku. Hari-hari yang kulalui
wajahmu telah kupendam rapi
seakan telah hilang dari ruang,

Adakah rasa itu muncul lagi
ketika angin telah membawanya
terbang melintasi awan. Sementara debu-debu
telah bersih dari meja perjamuan
sepeluh tahun silam. Kuharap jangan kau datang lagi
dalam igau disaat bunga-bunga mekar
dan menebar aroma wangi.

Sebentar lagi hari kan senja
dan matahari akan tenggelam di telan malam.
Pergilah dan jangan mengusik
kejernihan air telaga
tempat bermain ikan-ikan kecil
di keriangan masa

5 Juli 2010

Selasa, 12 Oktober 2010

Gerimis di Suatu Malam

Menjelang pagi, mataku masih sulit dipejamkan. Di setiap arah mataku memandang yang tampak hanyalah wajah Luna yang baru saja menghadap Sang Mahakuasa. Kelopak mataku terasa pedih seakan ada yang mengganjal. Lagi-lagi bayangan wajahnya yang mengganjal agar mata ini tidak terpejam. Di setiap sisi ruang kamarku terbayang ribuan lukisan wajahnya yang tersenyum manis. Tawa manja yang merayu saat aku bertemu dengannya setahun yang lalu. Setelah kutatap bayangan itu ribuan wajah Luna pun lenyap ditelan cahaya lampu temaram di ujung malam.
Kusandarkan tubuhku pada tembok berwarna kelabu. Guratan-guratannya menarik khayalan saat aku bersuka cita dengan Luna kala itu. Namun, khayalan itu hanyalah kamuflase belaka. Ia lenyap lantas berganti air mata membanjiri kamarku.
”Andaikan aku tak berangkat saat itu, mungkin malam ini aku duduk berdampingan dengannya,” kataku dalam lamunan.
”Ah, tidak! Luna telah tiada. Aku pembunuh! Aku pembunuh!” teriakku menyalahkan diriku.
Kubekap wajahku dengan bantal guling kusam di pangkuanku. Air mataku terkuras oleh hisapan kapas-kapas yang bersembunyi di balik kantong bantal itu. Kepengapan hidup benar-benar kurasakan saat ini. Orang yang kucintai telah meninggalkanku selama-lamanya.
”Haruskah aku menyusulnya?” tanyaku pada diriku sendiri.
”Jangan!” tolak nuraniku.
”Kematian jangan dicari, kematian tidak bisa dihindari. Kapan dan di mana saja, kematian akan menjemput kita!” bisik nuraniku.
Kini hari-hariku dipenuhi perasaan bersalah yang menyebabkan kematian Luna. Pada suatu sore ia mengirimkan kabar padaku lewat pesan singkat. Dia minta diantarkan ke rumah teman sekolahnya. Saya sudah memperingatkannya agar ke sana besok pagi saja. Namun, ia masih bersikeras meminta aku mengantarkan ke rumah temannya itu. Katanya sangat penting. Akhirnya aku mengalah dan mengantarkannya demi rasa sayangku kepadanya.
Waktu maghrib telah berlalu. Malam mulai menungguku di gerbang hari. Diiringi rintik hujan kupacu motorku ke rumah Luna. Jaket yang kupakai basah kuyup terkena gerimis di malam itu. Sesampai di rumah Luna, kulepas jaket lalu kukibaskan berkali-kali agar butiran air hujan yang menempel segera lepas dari jaketku. Aku melihat Si Luna dari balik jendela kaca rumahnya. Ia sudah menungguku di ruang tamu. Dengan memakai swiiter yang ia beli sewaktu rekreasi ke WBL, ia mengusir dingin malam itu. Tangannya yang terasa dingin segera menjabat tanganku lantas ia mengajakku berangkat ke rumah temannya.
Motorku beranjak dari depan rumah Luna. Suaranya meraung mengusir gerimis yang menerobos cerobong knalpot.
”Agak cepat, dong!” pintanya dengan memukul pundakku.
”Sabar, Luna! Jalannya licin, nih!” jawabku.
Ia rupanya tidak mau bersabar. Ia terus memaksaku memacu motorku melintas di jalan yang licin setelah diguyur hujan.
Pekat malam sedikit mengganggu pandangan mataku. Kilatan cahaya kendaraan yang berpapasan denganku sedikit menyilaukan penglihatanku. Tapi aku tak peduli. Aku tidak mau mengecewakannya. Motor kupacu dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai di rumah temannya.
Hawa dingin tak kuhiraukan. Jari-jari hujan membelai wajahku hingga butiran-butirannya mengalir melintasi relung mukaku. Sebutir air hujan mengecup bibir kemudian dengan spontan kuludahkan kembali air itu.
”Asin...!”
”Kenapa, kok, asin?”
”Bibirku dikecup air hujan!” jawabku menggoda.
Si Luna tertawa di atas motor yang melaju semakin kencang.
”Aku cemburu, lho!” katanya.
”Sudah, sudah! Ini di atas motor, lho! Jangan bergurau!”
Si Luna lantas diam tak mengucap sepatah kata pun lagi yang dapat mengganggu konsentrasiku. Lewat jalan berliku, kudahului satu persatu kedaraan di depanku. Di setiap celah yang dapat kulalui, motor yang kupacu lalu menyelinap dan menerobos himpitan kendaraan. Luna tak terlihat ketakutan atau panik saat motorku berada di antara dua kendaraan yang kulalui. Ia semakin senang dan bersemangat agar ia cepat sampai di rumah temannya.
Dekapan kedua tangannya terasa semakin erat. Nafas perutku terasa kembang kempis ditekan tangan halus yang melingkar penuh di perut. Ia seakan menikmati perjalanan yang penuh dengan risiko ini. Mesin motorku meraung-raung memecah gendang telinga. Bak tenaga kuda, motor kupacu tanpa sedikitpun kukendorkan tarikan gasnya. Deru suara motorku mengalahkan dering ponsel dari saku celana si Luna. Untung getaran ponsel itu menyadarkannya bahwa ada panggilan masuk ke ponselnya.
Dekapan erat Luna sedikit mengendur. Tangan kirinya meraih ponsel dari saku celanannya. Sementara tangan kanannya masih melingkar di tubuhku. Saat melintas di jalan berliku, motorku tergelincir dan aku tak mampu mengendalikan motorku lagi. Kami bergulingan jatuh dari motor. Sempat aku melihat motorku meluncur sendiri lantas menabrak pohon yang berdiri di samping jalan raya. Setelah tubuhku terhempas dan terjerembab di persawahan, aku mencari Luna yang sempat lepas lantas terlempar dari motor. Aku tak mendengar rintihan atau erangan dari Luna. Malam itu benar-benar sunyi. Aku melihat benda-benda di sekelilingku lewat terpaan lampu kendaraan yang berlalu. Tapi hingga mataku perih belum juga menemukan Luna.
Kaki kananku terasa perih. Kuraba dengan jari-jari tanganku. Darah mengucur deras dari betis dan telapak kakiku. Saat aku berusaha membalut lukaku dengan sobekan baju lengan panjangku agar darah tidak mengucur, tiba-tba terdengar suara ponsel dari bawah pohon mahoni di pinggir jalan raya. Lampu berirama memberi isyarat mungkin Luna ada di situ. Kuberjalan pelan mendekati kelap-kelip cahaya ponsel. Betapa terkejutnya aku saat melihat tubuh Luna meringkuk bersimbah darah di bawah pohon mahoni. Kuangkat kepalanya yang mengucurkan darah segar. Kupegang denyut nadinya tak ada detaknya. Akhirnya aku berteriak sekuat pita suaraku meminta pertolongan kepada pengguna jalan yang melintas di situ.
Wajah Luna membeku. Ia diam tak menyembulkan senyuman menggodaku. Wajahnya bersimbah darah kudongakku dengan mengharap keajaiban datang. Tapi ia tetap diam.
”Tolooooooong!” teriakku dengan suara serak. Tapi belum ada orang yang datang membantu.
Ponsel yang tergeletak di sisi Luna berdering lalu kuangkat.
”Halo, siapa ini?” tanya suara dari ponsel.
“Aku Daffa, teman Luna. Cepat kemari! Aku butuh pertolongan,” kataku panik.
”Kenapa?”
”Kami kecelakaan.”
”Baik, saya akan segera ke sana. Posisimu di mana?”
Aku kebingungan menjawab pertanyaannya. Aku tak tahu berada di mana sekarang ini. Tak ada rambu penunjuk arah. Tak ada pula papan nama yang bisa menujukkan di mana kami berada.
”Di tikungan jalan menuju ke rumahmu,” jawabku sekenanya.
Hampir dua jam kami bermandi air hujan dan air mata. Aku bingung apakah si Luna masih hidup atau sudah tiada. Dari tanda-tanda di denyut nadinya yang tak berdetak lagi telah menandakan bahwa Luna telah tiada. Aku takut, gugup menghadapi masalah ini sendirian. Dengan sekuat tenaga, tubuh Luna kubopong ke pinggir jalan raya. Baru saja kuturunkan tubuh Luna di pinggir jalan, tiba-tiba ada mobil yang berhenti di depanku.
“Lunaii, Lunaiii!” teriak seorang gadis yang melompat dari pintu mobil tersebut. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia merangkul lantas menggoyang-goyang tubuh Luna yang lunglai.
“Luna, jangan pergi!” ratapnya yang tenggelam air mata.
Aku hanya duduk terpaku melihat teman Luna yang merangkul dan menggoyang-goyang tubuh Luna yang tak bernyawa. Sementara aku tak berdaya. Aku tak mampu membantu mereka mengurusi Luna. Akhirnya, tubuhku kusungkurkan di pinggir jalan raya sembari menutup muka dengan kedua telapak tangan. Kemudian dari arah belakang, ada orang yang membangunkanku lantas memapah diriku masuk ke dalam mobil.
Di tengah gerimis di malam itu, lewat kaca jendela mobil yang dipenuhi embun air hujan aku melihat tubuh Luna dibopong dan dimasukkan ke dalam ambulance. Lampu biru di atas ambulance mengubur hatiku ke dalam kesedihan yang mendalam. Tangisku kutahan tak kutumpahkan saat itu. Biarlah nanti air mataku kutumpahkan sebagai pembersih rasa salahku yang menyebabkan kematian Luna.
Saat pemakaman dilaksanakan, tangis pilu mewarnai para pelayat yang kebanyakan adalah kerabat dan teman-teman sekelas Luna. Mereka merasa kehilangan sosok yang supel dan pandai bergaul seperti Luna.
Di atas pusara tertancap dua batu nisan yang bertuliskan Luna Sukmawati. Di atas gundukan tanah itu, taburan ratusan, ribuan bahkan jutaan bunga dengan aroma wangi surga menghiasi pemakaman orang yang terkasih dan tercinta.

*Cerpenis
tinggal di Wanar Pucuk Lamongan

Minggu, 03 Oktober 2010

Di Senja Pantaimu

Hamparan pasir bertingkai angin senja
Gemerisik mengusik riak gelombang
menghantam karang
Deburan ombak menggelora
Hinggapi hati riang

Pada sebongkah batu karang
Kularungkan segala resah
Lalu padanya aku bertanya
Masih pantaskah diri melarungi samudra
Di tengah compang layar bahtera

Biru laut membahana
Terbias surya di ufuk sana
Wajahku terpana melihat dara yang berselimut sutra
Apakah dia bidadari yang turun dari nirwana
Berselendang ungu nan mempesona
Ketika malam tiba?

Siulan camar bernyanyi riang
Menghibur gundah gulana yang datang
Semenjak siang
Lalu angin senja kabarkan
Dialah dara yang datang tadi malam

Kuulurkan tangan menyambut kedatangannya
Beriring desir pantai yang mengiris hati nan lara
Namun semakin jauh jemari menggapai
Tiada tersentuh jua bayang-bayang dirinya

Apakah dara berselendang sutra
Hanyalah fatamorgana di siang kemarau
Yang tak kunjung tiba?

Tatap mata sayu
Terukir bola mata syahdu
Sekecup merah
Mengatakan rindu bertemu
Di senja pantaimu

Lamongan, 16 September 2010
00.30 WIB

Malam Penyempurna

Sumebyar cahya rembulan
Di gelap malam
Menyibak kekalutan yang terbawa
Ketika angin dan panas merambah
Rautku

Gemintang bertabur
Menari riang
Bermandi sinar rembulan
Melumat malam hingga fajar
Tatkala kokok pejantan bersahutan

Dingin menghembus
Di sela jutaan pori
Berbagi semi di pucuk
Hijau royo-royo
Berlinang embun pengampunan
Di malam penyempurna

7 Syawal 1431 H